20 Juli 2012

Imam Khomeini

Ruhullah Musavi Khomeini atau Imam Khomeini lahir pada tanggal 20 Jumadis-Tsani 1320 H (24 September 1902) di kota Khomein, provinsi Markazi, Iran tengah. Ia terlahir di tengah keluarga agamis, ahli ilmu, dan pejuang, keluarga terhormat yang masih menyimpan darah keturunan Sayidah Fatimah Az-Zahra ra, putri Rasulullah saw. Imam Khomeini adalah pribadi agung yang menjadi pewaris kemuliaan para bapak dan datuknya yang selalu mengabdikan diri untuk membimbing umat dan menuntut makrifat ilahi dari suatu generasi ke generasi lainnya. Ayah Imam Khomeini adalah Al-Marhum Ayatollah Sayid Mostafa Musavi. Beliau hidup sezaman dengan Al-Marhum Ayatollah Al-Udzma Mirza-e Shirazi. Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu agama di kota suci Najaf dan berhasil meraih gelar mujtahid, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi kembali ke Iran dan menetap di Khomein.

Di kota kecil inilah beliau mendermakan umurnya untuk mengabdi kepada masyarakat dan menjadi pembimbing mereka dalam urusan agama. Hanya selang 5 bulan setelah kelahiran Imam Khomeini, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi, gugur syahid akibat serangan teror pembunuh bayaran para tuan tanah Khomein di waktu itu. Beliau meneguk manisnya madu syahadah setelah peluruh panas bersarang ke tubuhnya saat menempuh perjalanan dari kota Khomein menuju Arak. Di masa itu, ayah Imam Khomeini memang dikenal sebagai seorang pejuang yang senantiasa menentang kezaliman para penguasa. Tak lama kemudian, sanak famili Ayatollah Musavi bertandang ke pemerintah pusat Tehran, guna menuntut diterapkannya hukum Qishash terhadap para pelaku teror.

Sejak kecil Imam Khomeini memang sudah terbiasa dengan derita anak yatim dan mengenal arti syahid. Di masa kecil dan remajanya, Imam Khomeini berada di bawah asuhan ibunya, bernama Hajar. Ibunya sendiri adalah putri keluarga ulama. Ia adalah cucu Al-Marhum Ayatollah Khounsari, penulis kitab Zubdah Al-Tasanif. Bersama ibunya, Imam Khomeini juga diasuh oleh bibinya yang dikenal sebagai seorang perempuan pejuang, bernama Sahebah. Namun menginjak usia 15 tahun, Imam Khomeini pun kehilangan belaian kasih ibu dan bibinya.

Hijrah ke Qom. Tak lama setelah kepindahan Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi, ke Qom pada Rajab 1340 H (Sekitar bulan Maret 1921), Imam Khomeini pun akhirnya turut hijrah ke Hauzah Ilmiah Qom dan dengan segera ia menyelesaikan pendidikan tingkat akhirnya di sana. Imam Khomeini mempelajari bagian akhir kitab Al-Muthawwal di bidang ilmu ma’ani dan bayan (sastra Arab) di bawah bimbingan Agha Mirza Muhammad Ali Adib Tehrani. Sebagian besar pelajaran tingkat menengah hauzahnya ia tamatkan di bawah asuhan Ayatollah Sayid Ali Yatsribi Kashani, dan juga Ayatollah Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Sementara pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih beliau pelajari dari Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi, pendiri Hauzah Ilmiah Qom. Setelah wafatnya Ayatollah Hairi Yazdi, berkat upaya Imam Khomeini dan para ulama besar Hauzah Ilmiah Qom lainnya, Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi akhirnya dikukuhkan sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Di masa itu, Imam Khomeini terpilih sebagai salah satu pengajar Hauzah dan dikenal sebagai mujtahid di bidang Fiqih, Ushul Fiqih, Filsafat, Irfan, dan Akhlak. Selama bertahun-tahun menjadi pengajar di Hauzah, Imam Khomeini mengajar di madrasah Faiziyah, masjid A’zam, masjid Muhammadiyah, madrasah Haj Molla Shadiq, masjid Salmasi dan beberapa tempat lainnya. Sementara itu, selama 14 tahun di Hauzah Ilmiah Najaf, Irak, Imam Khomeini mengajar ilmu-ilmu Ahlul Bait as dan fiqih pada peringkat tertinggi Hauzah, di masjid Syeikh A’zam Ansari. Di kota Najaf inilah, Imam Khomeini untuk pertama kalinya mengungkapkan dasar-dasar teori pemerintahan Islam dalam rangkaian pelajaran wilayatul-faqihnya.

Perjuangan dan Kebangkitan Imam Khomeini Semangat perjuangan dan jihad Imam Khomeini, berakar pada pandangan akidah, pendidikan, lingkungan keluarga, dan situasi politik dan sosial di sepanjang masa hidupnya. Perjuangan beliau dimulai sejak masa remajanya, lantas berkembang kian matang seiring dengan perkembangan psikologis dan ilmiah Imam Khomeini di satu sisi, dan transformasi politik dan sosial di Iran dan dunia Islam di sisi lain.

Pada tahun 1340 hingga 1341 HS (1961-1962), rezim Pahlevi mengesahkan aturan yang dikenal dengan nama Anjomanha-ye Eyalati va Velayati (Lembaga Lokal dan Federasi). Peristiwa ini merupakan kesempatan bagi Imam Khomeini untuk memimpin kebangkitan para ulama. Sehingga kebangkitan massal para ulama dan rakyat Iran pada tanggal 15 Khordad 1342 HS (5 Juni 1963) meletus. Kebangkitan 15 Khordad memiliki dua ciri utama: kepemimpinan tunggal Imam Khomeini dan keIslaman motif, tujuan, dan slogan kebangkitan. Kebangkitan ini merupakan babak baru perjuangan bangsa Iran yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Islam.

Dalam waktu yang relatif singkat, Imam Khomeini pun lantas dikenal sebagai ulama terkemuka di bidang irfan, filsafat, fiqih, dan ushul fiqih. Dengan wafatnya Ayatollah Al-Udzma Hairi Yazdi, pada tanggal 10 Bahman 1315 (30 Januari 1937), Hauzah Ilmiah Qom yang baru saja didirikan terancam bubar. Namun demikian, para ulama Hauzah pun segera mencari solusi. Selama delapan tahun, Hauzah Ilmiah Qom diasuh oleh Ayatollah Al-Udzma Sayid Mohammad Hojjat, Ayatollah Al-Udzma Sadruddin Sadr, dan Ayatollah Al-Udzma Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Selang masa itu, khususnya setelah tumbangnya Reza Khan, situasi untuk memunculkan marjaiyat yang besar mulai terbuka. Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi, merupakan figur ulama besar, yang layak untuk menggantikan posisi Al-Marhum Ayatollah Al-Udzma Hairi Yazdi. Karena itu para murid Ayatollah Hairi Yazdi termasuk Imam Khomeini segera mengusulkan untuk memilih Ayatollah Boroujerdi sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Dengan penuh kesungguhan, Imam Khomeini mengundang Ayatollah Boroujerdi untuk berhijrah ke Qom dan menerima tanggung jawab besar sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah di kota ini. 

Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini selalu memantau situasi politik Iran dan kondisi Hauzah. Pelbagai informasi dan data beliau peroleh lewat telaah tak kenal lelah buku-buku sejarah kontemporer, beragam majalah, dan koran. Imam Khomeini juga kerap pergi ke Tehran dan berhubungan dengan para tokoh politik Islam, seperti Ayatollah Modarres. Imam Khomeini melihat bahwa satu-satunya harapan untuk melepaskan bangsa Iran dari jeratan penguasa diktator dan konspirasi asing, pasca kegagalan Revolusi Konstitusional dan berkuasanya Reza Khan adalah kebangkitan para ulama Hauzah. Tentu saja sebelum kebangkitan itu dilancarkan, upaya menjamin keberadaan Hauzah Ilmiah dan hubungan spritual masyarakat dengan ulama harus terealisasikan terlebih dahulu. Guna mencapai tujuan luhurnya, pada tahun 1328 HS (1949), Imam Khomeini bersama Ayatollah Morteza Hairi merancang program reformasi mendasar struktur Hauzah Ilmiah dan mengusulkannya kepada Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi. Usulan tersebut mendapat sambutan positif dan dukungan para ulama dan pelajar Hauzah yang berpikiran reformis.

Di sisi lain, politik rezim Syah mengalami kegagalan. Rancangan Anjomanha-ye Eyalati va Velayati yang mencabut syarat status keislaman, sumpah dengan Al-Quran, dan berjenis kelamin pria bagi para pemilih dan kandidat pemilihan umum, disahkan oleh kabinet PM Amir Asadollah Alam pada tanggal 16 Mehr 1341 HS (8 Oktober 1962). Kebebasan memilih bagi perempuan, sejatinya merupakan kedok untuk menyembunyikan agenda tersembunyi rezim Syah. Penghapusan dan perubahan dua syarat pertama di atas merupakan upaya untuk melegalkan kehadiran oknum-oknum Bahaism di pemerintahan.

Sejatinya, rahasia pengaruh besar pesan dan pernyataan Imam Khomeini terhadap jiwa pendengarnya hingga mereka rela berkorban, terletak pada kemurnian pemikiran, kekuatan pandangan, dan kejujuran Imam Khomeini kepada masyarakat. Tahun 1342 HS (1963) diawali dengan boikot pesta perayaan tahun baru tradisional (Nouruz) Iran dan peristiwa berdarah di madrasah Faiziyah Qom.

Pada tanggal 14 Farvardin 1342 (3 April 1963), Ayatollah Al-Udzma Hakim di Najaf, Irak, mengirim telegram kepada para ulama dan maraji Iran yang berisi ajakan untuk hijrah ke Najaf secara massal. Usulan ini merupakan upaya untuk menyelamatkan para ulama dan tokoh hauzah. Namun demikian, tanpa mempedulikan ancaman dan tekanan Syah, Imam Khomeini membalas telegram Ayatollah Hakim. Dalam telegramnya itu, Imam Khomeini menilai bukan maslahat jika para ulama hijrah secara massal ke Najaf dan membiarkan Hauzah Ilmiah Qom dalam keadaan kosong.

Imam Khomeini dalam pesannya tertanggal 12 Ordibehesht 1342 HS (2 Mei 1963) memperingati 40 hari terjadinya tragedi Faiziyah menegaskan perlunya ulama dan rakyat Iran untuk bersama-sama mendukung para pemimpin negara-negara Islam dan pemerintahan Arab menentang rezim zionis Israel serta mengutuk persekutuan Syah dengan rezim zionis. Kebangkitan 15 Khordad Bulan Muharram datang bersamaan dengan bulan Khordad 1342 HS. Imam Khomeini memanfaatkan moment tersebut untuk menggerakkan rakyat Iran bangkit melawan rezim diktator Syah Pahlevi. Pada sore Asyura 13 Khordad 1342 HS (3 Juni 1963) Imam Khomeini menyampaikan pidato bersejarahnya di madrasah Faiziyah Qom. Pidato ini merupakan titik awal kebangkitan 15 Khordad.

Pada pukul 3 pagi, 15 Khordad 1342 HS (5 Juni 1963), ratusan tentara Syah mengepung rumah Imam Khomeini. Mereka menangkap Imam saat beliau sedang menjalankan shalat malam dan segera membawanya ke Tehran. Beliau dijebloskan di penjara Bashgah-e Afsaran. Sore harinya, beliau dipindahkan ke penjara Ghasr. Pagi tanggal 15 Khordad berita penangkapan Imam Khomeini pun menyebar ke kota-kota besar Iran, seperti Qom, Tehran, Mashhad, Shiraz, dan kota-kota lainnya.

Imam Khomeini akhirnya dibebaskan dan dipindahkan ke Qom. Kabar pembebasan Imam pun menyebar luas dan disambut gembira oleh rakyat. Peringatan tahun pertama hari Kebangkitan 15 Khordad pada tahun 1343 HS (5 Juni 1964) diperingati dengan dirilisnya statemen bersama Imam Khomeini dan para marji taqlid lainnya serta pernyataan terpisah Hauzah Ilmiah. Hari itu dinyatakan sebagai hari duka.

Anehnya, seperti tahun sebelumnya, Imam ditangkap saat beliau tengah menunaikan shalat malam. Imam pun ditangkap dan langsung di bawa menuju bandara Mehrabad, Tehran. Di bawah kawalan ketat pihak keamanan Imam diboyong ke Ankara, Turki.  Pengasingan Imam khomeini di Turki berlangsung selama 11 bulan. Selang masa itu, rezim syah dengan otoriternya berusaha menumpas total gerakan kebangkitan rakyat Iran yang masih tersisa dan dengan segera menerapkan rencana reformasi sebagaimana yang dirancang oleh AS. Masa pengasingan Imam Khomeini di Turki merupakan juga kesempatan bagi beliau untuk memulai penulisan buku Tahrirul-Wasilah.

Pengasingan Imam Khomeini dari Turki ke Irak Tanggal 13 Mehr 1343 (5 Oktober 1965) Imam Khomeini bersama putranya, Ayatollah Haj Agha Mostafa dipindahkan dari Turki dan diasingkan ke Irak. Setelah memasuki Baghdad, Imam Khomeini segera memanfaatkan waktu yang ada untuk berziarah ke makam para Imam Ahlul Bait as seperti di Kadzimain, Samarra, dan Karbala. Seminggu setelahnya, Imam pergi ke tempat pengasingannya di Najaf. Meski selama di Irak, Imam Khomeini relatif lebih bebas ketimbang di Iran atau Turki, namun masa pengasingan di Najaf selama 13 tahun dimulai dengan maraknya penentangan, hasutan, dan fitnah musuh-musuh Imam, bahkan beliau juga mendapat penentangan keras dari kalangan yang berkedok ulama. Imam bahkan menyebut masa pengasingan di Irak sebagai babak perjuangan yang begitu pahit. Namun begitu, beliau tetap sabar menghadapi segala tantangan yang ada dan terus melanjutkan perjuangannya.

Di bawah tekanan para penentangnya, Imam Khomeini mulai mengajar rangkaian pelajaran fiqih tingkat tingginya di masjid Syeikh Anshari, Najaf pada bulan Aban 1344 HS (sekitar November 1965). Kegiatan mengajar tersebut beliau lanjutkan hingga akhirnya beliau pindah ke Paris. Pelajaran fiqih Imam terkenal sebagai salah satu kelas Hauzah Ilmiah Najaf paling berbobot dan diminati. Hubungan Imam Khomeini dengan kawan-kawan seperjuangannya di Iran masih beliau jalin lewat pengiriman surat dan utusan. Imam Khomeini selalu memandu mereka dan mengajak mereka untuk tetap bertahan memperjuangkan cita-cita Kebangkitan 15 Khordad. Di masa-masa pasca pengasingan, Imam Khomeini tak pernah menyerah untuk berhenti berjuang meski didera berbagai tekanan dan ancaman. Ceramah-ceramah dan pesan-pesan tertulis Imam Khomeini selalu mengobarkan harapan kemenangan di hati setiap rakyat Iran.

Akhirnya pada tahun 1348 HS (1969) Imam Khomeini tidak hanya berhasil menjaring dukungan dari dalam negeri Iran, tapi juga berhasil menarik dukungan masyarakat muslim lainnya seperti dari Irak, Lebanon dan negara-negara Islam yang lain. Paradigma perjuangan Imam Khomeini mereka jadikan sebagai model perjuangan mereka. Perjuangan Tak Kenal Menyerah Imam Khomeini (1350-1356 HS) Paruh kedua tahun 1350 (menjelang akhir tahun 1971), perselisihan antara rezim Ba’ast Irak dan Syah Iran makin memanas. Perselisihan itu diikuti dengan diusirnya warga Iran yang bermukim di Irak. Dalam telegramnya kepada Presiden Irak di masa itu, Imam Khomeini mengecam keras aksi pengusiran tersebut. Dalam situasi semacam itu, Imam Khomeini bertekad untuk segera keluar dari Irak. Namun pemerintah Baghad tanggap dengan dampak dari keluarnya Imam Khomeini dari Irak sehingga Imam pun dilarang meninggalkan Irak.

Gugur syahidnya, putra Imam Khomeini, Ayatollah Haj Agha Mostafa Khomeini, pada awal bulan Aban 1356 HS (23 Oktober 1977) merupakan titik tolak gerakan kebangkitan kembali komunitas Hauzah dan masyarakat muslim Iran. Imam Khomeini bahkan menyebut peristiwa itu sebagai anugrah tersembunyi ilahi.

Pada tanggal 12 Mehr 1357 HS (4 Oktober 1978), Imam Khomeini berencana meninggalkan Najaf menuju perbatasan Kuwait. Namun pemerintah Kuwait atas desakan rezim Syah menolak Imam Khomeini memasuki negara ini. Rencana hijrah ke Lebanon dan Syria pun sempat dibicarakan, namun setelah bermusyawarah dengan putranya, Hojjatul Islam Haj Sayed Ahmad Khomeini, Imam khomeini akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Paris. Tanggal 14 Mehr 1357 HS (6 Oktober 1978), Imam Khomeini memasuki Paris. Dua hari setelahnya, Imam Khomeini tinggal di kediaman salah seorang warga Iran mukim Perancis di Nofel Loshato, sebuah kota kecil di pinggiran Paris.

Pada bulan Dey 1357 HS (Januari 1979), Imam Khomeini membentuk Dewan Revolusi Islam. Sementara Syah Iran kabur meninggalkan Iran pada tanggal 26 Dey 1357 HS (16 Januari 1979) setelah terbentuknya Dewan Kerajaan dan pengambilan mosi kepercayaan atas kabinet PM Bakhtiar. Berita kepergian Syah pun menyebar ke Tehran dan akhirnya ke seluruh pelosok negeri. Berita pun ini disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat Iran. Imam Khomeini Kembali ke Iran Awal bulan Bahman 1357 HS (akhir Januari 1979), kabar tentang keputusan Imam Khomeini untuk kembali ke tanah airnya tersebar luas. Bagi rakyat Iran, kabar tersebut merupakan berita gembira yang paling dinanti-nantikan. Sekitar 14 tahun rakyat Iran merindukan kembalinya Imam Khomeini ke negerinya.

Akhirnya pagi 12 Bahman 1357 (1 Februari 1979) setelah 14 tahun hidup di pengasingan, Imam Khomeini kembali ke tanah air tercintannya. Rakyat Iran menyambut kedatangan Imam Khomeini secara besar-besaran dan penuh suka cita. Menurut pengakuan media-media Barat, warga yang menyambut kedatangan Imam Khomeini di jalan-jalan kota Tehran mencapai sekitar 4 sampai 6 juta orang. Selamat Jalan Imam! Imam Khomeini telah menyampaikan seluruh tujuan dan cita-cita perjuangan yang mesti diungkapkan. Dalam prakteknya pun, beliau mengerahkan seluruh daya dan upaya yang dimilikinya untuk merealisasikan cita-cita tersebut. Kini menjelang paruh kedua bulan Khordad 1368 (Juni 1989), Imam Khomeini seakan tengah mempersiapkan dirinya untuk menemui Sang Kekasih, Dzat Maha Suci yang selama ini seluruh perjuangan Imam senantiasa ditujukan untuk mengabdi kepada-Nya. Seluruh rintihan dan puisi sufistik Imam Khomeini merupakan jelmaan dari derita perpisahannya dengan Sang Kekasih dan kerinduannya untuk bertemu dengan Dia. Dan kini, saat-saat perpisahan Imam Khomeini dengan rakyatnya pun telah tiba. Dalam surat wasiatnya beliau menulis, “Dengan hati yang damai, kalbu yang tenang, jiwa yang bahagia dan diri yang penuh harapan kepada karunia ilahi, saya mohon pamit kepada Saudari dan Saudara sekalian menempuh perjalanan menuju tempat keabadian. Saya sangat memerlukan doa baik kalian. Kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang saya meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahan saya dalam berkhidmat. Saya juga berharap bangsa Iran bisa menerima maaf saya atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada. Saya berharap bangsa Iran bisa terus melangkah maju dengan teguh, tekad, dan kehendak”.

Yang menakjubkan beberapa tahun sebelum beliau wafat, Imam Khomeini dalam salah satu puisinya pernah menuturkan: Aku menanti datangnya anugrah ilahi di paruh Khordad Tahun demi tahun berlalu Peristiwa demi peristiwa berganti Sabtu 13 Khordad 1367 HS, pukul 22.20 adalah saat-saat perpisahan. Sebuah jantung yang menghidupkan jutaan jantung-jantung lainnya dengan sinaran ilahi dan spiritualitas, berhenti berdetak. Lewat kamera tersembunyi yang terpasang di ruang perawatan Imam Khomeini, di sebuah rumah sakit di Tehran, masa-masa operasi jantung dan detik-detik kepergian sang pemimpin revolusi, seluruhnya terekam sebagai dokumen sejarah.

Menjelang masa-masa akhir, kondisi ruhani dan jasmani Imam Khomeini ditayangkan lewat televisi. Tangis dan duka rakyat Iran pun tak bisa ditahan. Bibir Imam Khomeini selalu mengisyaratkan rangkaian dzikir yang tak putus-putusnya. Di malam terakhir hidupnya, setelah menjalani operasi jantung yang sangat berat dan melelahkan di usianya yang ke-87 tahun, beliau masih menyempatkan diri untuk menunaikan ibadah shalat malam meski kedua tangannya masih dipenuhi serum dan infus. Beliau masih meluangkan dirinya untuk membaca kalam suci Al-Quran.

Saat detik-detik akhir mulai menjelang, raut muka Imam Khomeini terlihat seperti diliputi aura ketenangan dan penuh damai. Lidahnya tak pernah putus mengucap syahadat atas keesaan Allah dan risalah Rasulullah. Dalam suasana yang begitu pekat dengan cahaya surgawi inilah, jiwa Imam Khomeini terbang menuju keharibaan ilahi. Iran seakan terguncang hebat, saat berita wafatnya Imam Khomeini diumumkan. Seantero Iran dan seluruh sudut dunia yang mengenal pesan dan perjuangan Imam Khomeini tenggelam dalam duka. Tak ada ungkapan dan tulisan yang bisa melukiskan betapa sedihnya rakyat dan umat revolusioner saat melepas kepergian sang Imam, pemimpin agung yang berhasil melepaskan negerinya dari jeratan kezaliman penguasa yang diktator dan campur tangan asing, sosok yang berhasil menghidupkan kembali Islam, mengembalikan kemuliaan umat Islam, mendirikan Republik Islam, seorang ulama besar yang tak gentar menghadapi dua kekuatan adidaya dunia, Timur dan Barat.

Mungkin tak ada siapapun yang kuasa untuk menafsirkan perpisahan ini, ketika mereka mendengar betapa banyak pecinta Imam Khomeini yang meninggal dunia lantaran tak mampu menahan pedihnya perpisahan, ketika mereka melihat betapa banyak rakyat yang kehilangan kesadarannya saat melihat jenazah Imam Khomeini disemayamkan, dan ketika menyaksikan jutaan pengagum sang pemimpin revolusi tenggelam dalam tangis dan duka yang mendalam. Namun bagi mereka yang pernah merasakan manisnya cinta, tentu mudah memahami hakikat semua ini. Benar, rakyat Iran sungguh jatuh cinta kepada Imam Khomeini.

Dalam selarik puisi yang begitu indah, rakyat Iran menuturkan, “Cinta kepada Khomeini adalah cinta kepada seluruh kebaikan”. Tanggal 14 Khordad 1368 HS (4 Juni 1989), Dewan Ahli Kepemimpinan Revolusi Islam menggelar sidang. Setelah dibacakannya wasiat Imam Khomeini oleh Ayatollah Ali Khamenei yang berlangsung selama dua setengah jam, pembahasan mengenai calon pengganti Imam Khomeini dan pemimpin tertinggi revolusi dimulai. Setelah beberapa jam berlalu, presiden Iran saat itu, Ayatollah Sayid Ali Khamenei terpilih sebagai pemimpin tertinggi revolusi Islam. Beliau adalah salah satu murid dekat Imam Khomeini, tokoh terkemuka pejuang revolusi, dan sahabat seperjuangan yang selalu menyertai Imam di segala keadaaan.

Dari kejauhan terlihat jenazah Imam yang terbaring damai di tengah lautan pecintanya yang berduka. Setiap orang berbicara kepada Imamnya dengan bahasa masing-masing sembari menetaskan air mata. Seluruh jalanan yang menuju Mushalla Besar Tehran penuh dengan lautan manusia berbusana hitam, yang mengisyaratkan betapa pedihnya sebuah perpisahan. Bendera-bendera tanda duka terpasang di sudut-sudut kota, lantunan kalam suci Al-Quran terdengar bersahutan di masjid-masjid, rumah-rumah dan perkantoran. Saat malam tiba, ribuan lilin di sekeliling Mushalla Besar Tehran dinyalakan untuk mengenang kobaran revolusi yang dinyalakan Imam. Malam itu, mata seluruh rakyat yang berduka menatapi nyala lilin, seakan mengenang seluruh pengorbanan yang diberikan Imam Khomeini kepada bangsanya. Teriakan “Ya…Husein” para pecinta Imam Khomeini yang merasa menjadi yatim, mengubah malam penuh duka itu menjadi seperti malam-malam Asyura, malam yang begitu tragis saat Imam Husein as, cucu Rasulullah saw dibantai di padang Karbala oleh para durjana. Mereka sadar, suara lembut Imam Khomeini tak akan terdengar lagi di Huseiniyeh Jamaran, tempat di mana Imam biasa mengutarakan cermah-ceramahnya kepada rakyat Iran. Rakyat terus mendampingi jenazah Imam hingga pagi tiba.

Awal pagi 16 Khordad 1368 HS (6 Juni 1989), sembari meneteskan air mata jutaan manusia menggelar shalat jenazah yang diimami oleh Ayatollah Al-Udzma Golpaygani. Lautan manusia di saat itu mengingatkan kembali pada peristiwa penyambutan besar-besaran rakyat Iran yang menyambut kedatangan Imam Khomeini dari pengasingan pada tanggal 12 Bahman 1357 HS (1 Februari 1979). Dua peristiwa besar yang akan senantiasa diingat oleh sejarah. Media-media massa dunia memperkirakan, lautan pelayat Imam Khomeini saat itu sekitar 9 juta orang, sementara pada peristiwa penyambutan 12 Bahman, diperkirakan sekitar 6 juta orang.

Generasi hasil didikan ideologi ilahi Imam Khomeini benar-benar memegang teguh ajaran beliau yang berbunyi, “Beban menahan kerja keras, kesusahan, pengorbanan, kesyahidan, dan derita di dunia sebanding dengan besarnya tujuan, kebernilaian dan ketinggian peringkat tersebut”. Setelah melihat bahwa prosesi pemakaman tak mungkin dilanjutkan di tengah emosi penuh duka rakyat Iran, pemerintah mengumumkan untuk menunda pemakaman dan meminta para pelayat kembali ke rumahnya masing-masing sampai pengumuman berikutnya. Namun di sisi lain, mengingat bahwa penundaan prosesi pemakaman bisa menambah jumlah pelayat yang makin banyak berdatangan dari kota-kota lainnya, maka pemerintah pun memutuskan untuk mengebumikan jenazah Imam Khomeini selepas dzuhur hari itu juga. Prosesi pemakaman pun berlangsung di tengah himpitan lautan manusia yang tenggelam dalam tangis dan duka. Lewat siaran pelbagai media massa, seluruh dunia juga turut menyaksikan prosesi pemakaman seorang pemimpin agung Revolusi Islam ini. Dengan demikian seperti halnya masa-masa hidup Imam Khomeini yang menjadi sumber perjuangan dan kebangkitan, saat-saat kepergian beliau pun seperti itu juga. Semoga abadilah dia. Karena dia adalah hakikat dan hakikat akan senantiasa abadi dan tak kenal fana.

0 comments:

Posting Komentar