29 Maret 2013

Gamang

Hujan membasuh malam yang penat oleh resah. Ranting luluh. Daun-daun kering merintih nyaring ditikam kristal-kristal bening. Rembulan telah lama hilang bersama bintang-bintang di balik pepohonan.

Lelaki pecinta mimpi itu terbangun dengan setengah mata terpejam. Udara yang lengas memompa resah. Bidadari senja tersenyum di sampingnya. Parasnya sempurna bagaikan permadani malam bertabur bintang-bintang berkilauan. Sinarnya matanya berkeredep seperti ratna mutu manikam Sungai Mahakam. 

“Aku belum mengenalmu dengan sangat. Siapakah sesungguhnya dirimu?

Kau seperti rama-rama dengan sayap retak. Adakah kau pernah kehilangan dan dilanda cinta yang pahit?” bidadari itu bertanya seraya merebahkan kepalanya ke dada lelaki pecinta mimpi.

Lelaki itu tersenyum. Tapi hatinya puspas. Dia seperti terpelanting ke masa silam. Berbelas musim berganti, berpuluh purnama lalu, lelaki itu pernah mendapat pertanyaan yang sama. Tentang diri, cinta yang pahit dan arti kehilangan. Lama ia membiarkan tanya itu mengapung di udara yang muram.

“Kenapa kau diam?

Lelaki pecinta mimpi bangkit. Matanya menatap jauh ke jantung gelap malam. Gerimis mempercepat kelam. Ia bersicepat dengan masa silam yang mendadak kembali datang. 

“Aku bukan siapa-siapa, cuma lelaki yang berangkat dari titik nol. Aku memang pernah merasakan getirnya kehilangan. Tapi aku tak tahu banyak tentang cinta yang pahit,”

Kisahku tentang seorang lelaki dengan sayap yang patah dan punggung yang rekah oleh getir dan masa-masa yang tak pernah pulang.
Aku camar tanpa pantai.
Rumahku langit.
Pondokku udara.
Aku pengelana semesta.
Memungut suka selagi bisa.
Memulung duka semasa tiba.
Aku mengalam sesat lewat imaji, janji, dan ilusi.
Kata-kataku bahkan bisa sama berbahayanya dengan tuba yang kau sesap dari ujung rindu.
Semua yang kusentuh jadi bayangan.
Jejakku gampang pergi, dihapus kenangan dan masa depan.
Kepedihan nama tengahku. Kesepian nama depanku. Kegamangan mengiringi setiap langkahku.

Aku lelaki pecinta mimpi, pengelana waktu yang tahu bahwa sesuatu yang tak bisa kumiliki sering kali begitu menggoda. Tapi, aku juga mengerti, lantai harapan sering sama licinnya dengan jalan kehidupan. Tak jarang aku gampang tergelincir dan kehilangan pegangan.
Maka, cinta pun menjadi pahit begitu kupertaruhkan seluruh kartu terbaikku di atas meja ketika pada saat yang sama aku tahu bahwa perjudianku bukan untuk setiap lembar uang yang kumenangkan,” kata lelaki pecinta mimpi mengakhiri kisahnya.

Bidadari senja seperti tersihir oleh setiap kata yang meluncur deras dari bibir lelaki pecinta mimpi. Ia tak sepenuhnya mengerti, tapi bisa merasakan betapa terjal dan berliku jalan yang dipilih lelaki pecinta mimpi.

Dia mungkin pernah terluka. Begitu teruk. Hatinya barangkali juga telah remuk, tapi tak pernah berantakan. Mungkin karena mantra itu, “Lelaki tak pernah menangis, tapi hatinya berdarah.”
 
Ndorokakung 

0 comments:

Posting Komentar