05 Juni 2013

Meranggas Malam

“Perempuan itu sebaiknya dicintai, bukan mencintai” 

Aku tidak pernah mempercayai perkataan itu.

Mungkin hubungan pernyataan itu adalah pengejawantahan nasihat padaku. Aku memilih untuk dicintai, bukan mencintai. “Mencintai lebih banyak melukai”. 

Perpisahan kita hanya untuk menemukan bahwa perpisahan itu melukai, jauh lebih dalam. Jika perpisahan melukai, mengapa kita tidak terluka saja berdua, dan bukan sendiri-sendiri.

Mengapa hanya aku yang mencoba meraihmu? Mengapa hanya aku yang menginginkan “kita”. Mengapa hanya ada aku, sendiri, disini?

Barangkali kita tidak seharusnya begini. Jika saja aku memulai, untuk mengatakan bahwa Aku Mencintaimu.


Apa yang seharusnya aku katakan bagaikan postcard masa lalu yang tak pernah terkirim ke alamat manapun. Dan aku hanya bisa menyimpannya dalam laci kenangan. Kenangan yang sudah usang, sehingga begitu rapuh untuk disentuh. Jika aku mencoba merabanya, semua hanya akan meluruh menjadi serpih-serpih yang tak akan lagi bisa kusulam utuh.

Aku sering bertanya kepada diriku sendiri, mengapa aku takut bahagia? Aku tidak takut bahagia, aku hanya takut kecewa.

Untuk sesaat aku merasakan kembalinya kepingan-kepingan waktu yang pernah kita lalui. Momen-momen bahagia yang terjadi begitu saja tanpa rencana. Karena buatku bahagia itu sederhana, “bersamamu”.


Aku seperti ombak yang hanya surut sebentar, kemudian berdebur kembali dengan kekuatan yang lebih besar untuk memecah tebing yang memagari kita. Hidup di masa lalu itu melelahkan. Tetapi hidup dimasa depan tanpamu akan jauh lebih menakutkan. Bahkan hanya untuk kubayangkan.

Tapi aku tak ingin menderita berkepanjangan. Tak mungkin menderita setiap malam menjadi pungguk yang merindukan rembulan.

Kemarin akan berganti hari ini, dan esok telah menanti. Terjepit diantara kamu dan dia sungguh bukan pilihan yang harus kuambil. Toh dinding masa depan harus ku bangun dari batu bata hari ini. Tapi kamana aku harus mengubah arah selain ke parasmu?

Seharusnya aku sudah terbiasa dengan semua ini. Dengan rasa sakit ini. Dengan rasa perih yang mendesak-desak di balik kelopak mataku ini. Kutengadahkan wajahku ke langit, kemudian kutekan-tekan kelopak mataku untuk mengusir rasa itu pergi. Tetapi rasa itu tak mau hilang dan tetap bertahan. Karena rasa itu tak pernah ada disana. Pedih itu bukan dimata; tetapi dihatiku. Sejenis ketiadaan akan kamu yang meremukkan segalanya. Menyesakkan.

Karena itulah aku bertahan meranggas selama dua puluh satu Sabtu malam….

0 comments:

Posting Komentar