Aku tidak pernah mempercayai perkataan itu.
Mungkin hubungan pernyataan itu adalah pengejawantahan nasihat padaku. Aku memilih untuk dicintai, bukan mencintai. “Mencintai lebih banyak melukai”.
Perpisahan kita hanya untuk menemukan bahwa perpisahan itu melukai, jauh lebih dalam. Jika perpisahan melukai, mengapa kita tidak terluka saja berdua, dan bukan sendiri-sendiri.
Mengapa hanya aku yang mencoba meraihmu? Mengapa hanya aku yang menginginkan “kita”. Mengapa hanya ada aku, sendiri, disini?
Barangkali kita tidak seharusnya begini. Jika saja aku memulai, untuk mengatakan bahwa Aku Mencintaimu.
Apa yang
seharusnya aku katakan bagaikan postcard
masa lalu yang tak pernah terkirim ke alamat manapun. Dan aku hanya bisa
menyimpannya dalam laci kenangan. Kenangan yang sudah usang, sehingga begitu
rapuh untuk disentuh. Jika aku mencoba merabanya, semua hanya akan meluruh
menjadi serpih-serpih yang tak akan lagi bisa kusulam utuh.
Aku sering bertanya
kepada diriku sendiri, mengapa aku takut bahagia? Aku tidak takut bahagia, aku
hanya takut kecewa.
Untuk
sesaat aku merasakan kembalinya kepingan-kepingan waktu yang pernah kita lalui.
Momen-momen bahagia yang terjadi begitu saja tanpa rencana. Karena buatku
bahagia itu sederhana, “bersamamu”.
Aku seperti
ombak yang hanya surut sebentar, kemudian berdebur kembali dengan kekuatan yang
lebih besar untuk memecah tebing yang memagari kita. Hidup di masa lalu itu
melelahkan. Tetapi hidup dimasa depan tanpamu akan jauh lebih menakutkan.
Bahkan hanya untuk kubayangkan.
Tapi aku
tak ingin menderita berkepanjangan. Tak mungkin menderita setiap malam menjadi
pungguk yang merindukan rembulan.
Kemarin
akan berganti hari ini, dan esok telah menanti. Terjepit diantara kamu dan dia
sungguh bukan pilihan yang harus kuambil. Toh dinding masa depan harus ku
bangun dari batu bata hari ini. Tapi kamana aku harus mengubah arah selain ke
parasmu?
Seharusnya
aku sudah terbiasa dengan semua ini. Dengan rasa sakit ini. Dengan rasa perih
yang mendesak-desak di balik kelopak mataku ini. Kutengadahkan wajahku ke
langit, kemudian kutekan-tekan kelopak mataku untuk mengusir rasa itu pergi.
Tetapi rasa itu tak mau hilang dan tetap bertahan. Karena rasa itu tak pernah
ada disana. Pedih itu bukan dimata; tetapi dihatiku. Sejenis ketiadaan akan
kamu yang meremukkan segalanya. Menyesakkan.
Karena
itulah aku bertahan meranggas selama dua puluh satu Sabtu malam….
0 comments:
Posting Komentar