28 April 2013

Deja Vu

Kecanduan akan waktu itu seperti penyakit, sementara rentang hidup semakin sempit. Lebih dari segalanya, waktu. Hanyalah waktu.   

Dan kita memang sudah sejak dulu. Kamu tahu, menikmati setiap jeda, setiap jenak, setiap lalu kala menunggu. Sebaris senyap dalam kata-kata yang tak tergugu. Tidak terburu. Tidak jemu-jemu, meski yang aku lakukan tidaklah lebih hebat dari sekedar menunggui sebatang rokok bertransformasi menjadi abu. Kita mungkin terikat dalam erat yang terlalu.

Begitukah menurutmu?

Bukan cinta. Atau kecupan lewat kala senja. Tapi waktu.


Semakin singkat. Ingatan fotografis semakin tak bisa diandalkan ketika jejak-jejak mulai berkarat. Dan kamu tahu, karat itu hama seperti binatang pengerat. Aku tidak lagi ingin kamu dalam satu kerat. Tidak cukup kuat. Imajimu tidak bisa menjelma nyata hanya dalam nyala lampu 25 watt. Dan waktu tersaruk-saruk di belakang kita dengan langkah-langkah berat.

Hanya waktu. Apakah aku meminta terlalu banyak?

Bisakah kita melahap bintang-bintang hanya dengan mata saja? Pada sebuah ketika dimana akhirnya langit kita berbagi warna serupa. Ketika jendela tak perlu menjelma perantara untuk mengantarkan bingkisan kata-kata. Kedipan bulu mata adalah nyata. Setiap geraknya. Setiap helainya. Tanpa sela. Tanpa cela.

Sempurna.

Ini tak akan bertahan selamanya.

Aku tahu.

Cuma sementara.

Aku tahu

Jika begitu, mengapa masih kau katakan sempurna?

Karena aku tidak minta selalu.
Aku Cuma minta secukupnya waktu.
Hanya waktu. Untuk mencintaimu…

Apakah waktu kita sudah habis?


Perempuanku
Continue reading Deja Vu

21 April 2013

Disinikah Kita..?

Selama kita tidak bercakap tentang “kita”, maka segalanya akan baik-baik saja. Benarkah begitu?

Aku kesepian. Di balik jendela kaca yang menyimpan waktu dari jaman yang entah. Menyakitkan untuk dipandang. Sakit yang familiar. Seperti juga sengatan dihatiku ketika berpisah.

Aku tidak menangis. Tidak berteriak. Karena bukankah kita memang tidak pernah bicara tentang cinta ketika memutuskan untuk bersama?
Bukankah seperti selalu, seperti selayaknya, kita hanya mengada?

Tanpa pernah mempertanyakan rasa macam apa yang selama ini kita genggam dalam jari-jemari kita yang bertaut?

Sehingga disinilah aku, setelah perpisahan itu. Di detik yang merapuh ini.
Sendiri.


Dulu, kita selalu membicarakan hari ini: obrolan gombal yang tak pernah orang lain fikirkan.

Bukan percakapan yang penting memang, tapi justru yang remeh temeh itulah yang membuat kita tertawa. Lunglai. Dan bertahan bersama. Bersama-sama melewati kelokan kehidupan dan sekujur jalan penuh luka.

Seharusnya kamu ada disini. Bersamaku.
Kita akan berbicara keras-keras dan terbahak pada hal-hal yang kelucuannya hanya bisa dimengerti kita berdua. Orang-orang akan menoleh kearah kita: sedikit kesal, sedikit iri. Berharap mereka bisa memiliki ketidakpedulian kita ini separuhnya saja. Seperti pasangan yang tengah kasmaran.

Seperti.

Dan kita selalu terhenti sampai sejauh ini. Sejauh kata “seperti”.
Karena kita tidak pernah tahu. Aku tidak pernah tahu. Karena selama kita tidak bercakap tentang “kita”, maka segalanya akan baik-baik saja.
Ini seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis, yang seharusnya tidak kita langgar. Dan semua mimpi buruk ini, kesendirian kita, perpisahan pagi itu adalah semacam kutukan yang jatuh diatasku.

Karena aku bertanya tentang kita.

Are we together?

Dan kamu membeku seperti mendengar sesuatu yang tabu, yang tidak seharusnya.
Mengapa?
Mengapa begitu?
Mengapa kita tidak bisa memberi nama terhadap rasa yang kita punya dan tetap baik-baik saja?

Hidupku telah terlalu terbiasa tertuju kepadamu. Ketika kamu tidak disini, aku kehilangan arah, aku tersesat.

Detik-detik berlalu seperti hujan. Sebentar tapi nyaman. Atau nyaman tapi cuma sebentar.
Nyaman itu yang selalu kurasakan ketika bersama dirimu.

I miss us, and all the things we’ve accidentally missed…

Perempuanku
Continue reading Disinikah Kita..?

20 April 2013

Permintaan

Duhai perempuanku,
Aku tak pernah memintamu menghalangi di jalan itu. Waktu, kesempatan, takdir, mungkin yang mengaturnya. Dan ketika kau terpana memandang parasku yang lesi, itu juga kehendakku. Janganlah kau sesali pertemuan itu. Hidup, juga persilangan, terjadi setiap saat. Kalau bukan di sudut itu, mungkin di tikungan yang lain. Bukankah ombak juga bertemu karang tanpa mengeluh sejak dulu?

Duhai perempuanku,
Aku tak pernah berharap kau mengantarku siang itu. Aku sudah cukup bahagia berjalan sendiri di bawah cakar panas matahari yang memanggang. Kau bilang aku tak berhak teriksa oleh panas yang menderai-derai. Tapi sebetulnya aku selalu baik-baik saja. Dengan atau tanpa terpaan cahaya berdaya jutaan kilowatt itu. Matahari dan angin sahabatku sehari-hari. Aku hidup bersama mereka.


Duhai perempuanku,
Senyummu sudah lebih dari cukup. Bahkan jauh menyejukkan dibanding semua yang hijau di bumi ini. Mungkin kau tak tahu betapa aku terpana ketika tanganmu menggenggam uluran tanganku yang ragu-ragu. Lenganmu yang lembut, kasih sayang tulus. Aku seperti kapas yang melayap ke langit dihembus topan kebahagiaan.

Duhai perempuanku,
Bukan salahmu, pun bukan karena diriku, jika jumpa itu lalu bertukar tangkap dengan rindu. Yang menggebu. Ada hela-helai hatiku yang gemerincing setelah kau petik berganti-ganti. Lewat matamu yang teduh. Tawamu yang lepas. Usahlah kamu semak hati. Sebab bahkan pelangi pun senang dibasuh hujan.

Duhai perempuanku,
Tentu saja bukan pintaku kalau benih-benih suka itu lantas tersemai begitu rupa. Kembang bermekaran. Daun-daun bertumbuhan. Dan pucuk-pucuk pinus menari bersama gendang kehidupan.

Duhai perempuanku,
Tapi kenapa kau lekas pergi? Aku memang tak pernah memintamu tinggal. Berumah di pinggir telaga sunyi. Aku hanya mengharapmu singgah sejenak. Biar bungaku tumbuh dulu. Biar gerimis tak lagi jatuh
, dan membasahi peraduanku.
Terlalu berlebihankah permintaanku....?
Continue reading Permintaan