11 Mei 2013

Kita

Setiap kali menengadah pada bintang-bintang di langit malam, aku selalu melihat kita di masa lalu. Kita adalah kelap-kelip itu. 

Rasanya sudah lama sekali sejak kita bertemu untuk yang pertama kali. Aku hampir lupa seberapa sering kita bicara obrolan ringan, atau diam saja memandangi hujan sampai bosan. Dan aku sungguh-sungguh lupa kapan terakhir kali kita tertawa bersama.

Aku tidak suka ini. Kenyataan bahwa aku mulai melupakan banyak hal tentang kita. Detail-detail kecil yang menurutku penting.

‘Mungkin kamu akan melupakan mereka yang pernah tertawa bersamamu, tetapi kamu tidak akan pernah bisa melupakan mereka yang pernah menemanimu saat jatuh”.

Ya, aku tidak melupakanmu. Belum. Meskipun aku ingin. Meskipun aku mau.
Karena alangkah lebih baiknya jika begitu. Aku tak perlu mengingat betapa kita memutuskan untuk menempuh jalan yang berbeda sama sekali. Sendiri-sendiri.
Meninggalkan apa yang pernah kita miliki tanpa pernah memutuskan apakah kita akan kembali, atau apakah kita akan bertemu lagi suatu saat nanti.

Sekarang, kita seperti dua orang asing yang tidak pernah saling kenal. Menapaki hidup masing-masing dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke depan, agar hati kita yang rapuh dan retak-retak ini luput dari pandangan. Kita memaksa diri untuk tidak menoleh kebelakang. Untuk mengubur semua yang pernah ada.


Tetapi kita tahu, bahwa apa yang kita campakkan itu, akan tetap ada selama kita ada bukan?
Kita pernah bersama. Tidak secepat itu kita bisa berpisah dari satu sama lain dan menjadi baik-baik saja.

Dan bukankah hingga detik ini, kita masih bertanya-tanya, apakah dulu yang kita campakkan itu cinta?

Malam ini, ketika aku menengadah memandangi bintang-bintang di langit malam, aku melihat kita di masa lalu. Kita adalah kelap-kelip itu.

Dimana kamu berada saat ini?
Apakah kamu juga tengah memandangi langit malam ini, langit yang biasa kita bagi bersama?
Katakan, apa yang kamu lihat ketika kamu memandangi bintang-bintang?

Apakah kamu masih melihat aku dan kamu di masa lalu?

Ataukah…. Kamu hanya melihat bintang-bintang?


Perempuanku
Continue reading Kita

28 April 2013

Deja Vu

Kecanduan akan waktu itu seperti penyakit, sementara rentang hidup semakin sempit. Lebih dari segalanya, waktu. Hanyalah waktu.   

Dan kita memang sudah sejak dulu. Kamu tahu, menikmati setiap jeda, setiap jenak, setiap lalu kala menunggu. Sebaris senyap dalam kata-kata yang tak tergugu. Tidak terburu. Tidak jemu-jemu, meski yang aku lakukan tidaklah lebih hebat dari sekedar menunggui sebatang rokok bertransformasi menjadi abu. Kita mungkin terikat dalam erat yang terlalu.

Begitukah menurutmu?

Bukan cinta. Atau kecupan lewat kala senja. Tapi waktu.


Semakin singkat. Ingatan fotografis semakin tak bisa diandalkan ketika jejak-jejak mulai berkarat. Dan kamu tahu, karat itu hama seperti binatang pengerat. Aku tidak lagi ingin kamu dalam satu kerat. Tidak cukup kuat. Imajimu tidak bisa menjelma nyata hanya dalam nyala lampu 25 watt. Dan waktu tersaruk-saruk di belakang kita dengan langkah-langkah berat.

Hanya waktu. Apakah aku meminta terlalu banyak?

Bisakah kita melahap bintang-bintang hanya dengan mata saja? Pada sebuah ketika dimana akhirnya langit kita berbagi warna serupa. Ketika jendela tak perlu menjelma perantara untuk mengantarkan bingkisan kata-kata. Kedipan bulu mata adalah nyata. Setiap geraknya. Setiap helainya. Tanpa sela. Tanpa cela.

Sempurna.

Ini tak akan bertahan selamanya.

Aku tahu.

Cuma sementara.

Aku tahu

Jika begitu, mengapa masih kau katakan sempurna?

Karena aku tidak minta selalu.
Aku Cuma minta secukupnya waktu.
Hanya waktu. Untuk mencintaimu…

Apakah waktu kita sudah habis?


Perempuanku
Continue reading Deja Vu