Tubuhnya wangi melati. Rambutnya gelap malam tanpa bintang. Langkahnya seriang kupu-kupu di taman bunga.
Ia tengah berlawalata menyusuri sepi saat kami bersua. Kami berbincang ringan di pojokan angan. Di atas, kulihat langit biru tebal. Awan menggeletar jemu dikalang angin selembut beludru.
Aku ingat, perempuan itu duduk setelah meletakkan secangkir kembang warna-warni di atas meja. Sekilas kulihat ada roncean mawar hutan di kepalanya.
“Mari, temani aku duduk di sini melewati sunyi,” ia meminta.
Aku mengangguk, dan duduk di sampingnya.
Ia mendesah perlahan
sebelum membuka mulutnya. Sebentar saja. Kalimatnya segera mengalir lancar
seperti deras Sungai Mahakam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah
matahari pagi. Setiap dengus napasnya menari bagaikan rama-rama senja.
Perempuan nirwana itu
berkisah tentang padang savana dan seorang satria yang bertualang di atas
pelana kuda. Jalannya gontai dibalut layu. Lesi. Luyu. Sayu. Satria itu
berkelana di antara kelimun sengkarut. Setiap jejak kakinya berkelindan dengan
badai.
Aku mendengar setiap
kata yang keluar dari bibir merah gulalinya dengan gulana tak terperi.
Kubayangkan lelaki itu telah mengarungi lima benua, tujuh samudera,
berpuluh-puluh tundra. Ia mungkin pernah menginjak dan terpelanting di atas
hamparan lumut hijau.
Adakah dia berkawan? Adakah beban membolot kakinya? Apakah lukanya
teruk?
Perempuan itu tak
menjawab
“Satria itu ada di tubir nasib yang telah dipahatkan atas dirinya. Ia
meronta. Tapi, hidup tak melulu seperti dalam fabel,”
begitu perempuan itu berkata.
Hidup mungkin seperti
kawah yang menggelegak riuh. Penuh dusta dan nista. Ketika di dalamnya,
barangkali kau terluka. Kadang perih tak tepermanai. Sesekali kau tumbang.
Taklukkan dunia.
Seperti sang satria. Sebab, ketika matahari berselingkuh dengan hujan dan
melahirkan pelangi, selalu ada aku di ujung cakrawala.
Sedetik setelah
mengucapkan kalimat itu, perempuan bermata rembulan itu berdiri, membungkus
kepalanya dengan mafela kesumba, dan berlalu. Aku tergugu dalam bisu.
Ketika sadar, aku pun
berteriak, “Tunggu. Tunggu dulu. Jangan
kau pergi dulu, Puan,” pintaku. “Aku belum mengenalmu. Siapakah gerangan
dirimu? Siapa namamu?”
Perempuan itu
menghentikan langkahnya. Menoleh. Lalu tersenyum. Dia mengulurkan tangan,
mengajakku bersalaman.
“Perkenalkan, namaku harapan.”
:: untuk perempuan yang telah mengguyurkan keteduhan dan
memberi saya gagasan dalam diam.
wuiiihhhhh... harapan??? kayaknya aku punya "guru" yg bernama seperti itu :D
BalasHapus