Ruang dalamnya terang oleh pendar cahaya bintang dan dapurnya hangat oleh sinar matahari. Kelak, aku mau rumah ini jadi sebuah album tempat setiap lembaran kenangan tentang dirimu kusimpan.
Gerimis jatuh waktu itu. Airnya meleleh di jendela. Membuatnya berembun. Dan dengan jarimu yang lentik, kamu melukis sebuah gambar hati yang retak di jendela kaca itu. Dan hatiku pun ikut tersayat. Dan saat itulah kita bakal sama-sama meranggas di malam-malam musim panas. Berjuang sendiri-sendiri meringkus sunyi. Lantas ke manakah kelak kita akan pulang? Adakah harapan punya rumah?
Semua ini seharusnya terasa menghangatkan. Menenangkan. Tetapi sebaliknya, semua ini justru membuatku melankolia. Karena seharusnya, ada kamu di sini. Kenangan kita berdua ternyata terlalu sedih ketika hanya dijalani seorang diri.
Tentu, saat itu, kita tidak tahu bahwa kita akan berpisah pada suatu pagi yang kelabu. Karena ketika tengah bersamamu, perpisahan terdengar seperti sebuah konsep yang sangat jauh. Begitu jauh sehingga kita tak akan tersentuh.
Berdua, bersamamu, sepanjang waktu, tentu saja anugerah terindah hidupku. Seperti kirana bagi lembayung. Rinai bagi musim panas yang lengas. Arunika yang menghiasi jumantara.
Bukan. Bukan itu yang terpenting dalam hidup ini. Kamu jauh lebih berharga dari apa pun. Dan layak diperjuangkan dengan cara apa pun. Kamu hanya harus lebih menahan diri. Masa depan toh menunggu sabar. Kelak, ketika musim gugur sudah berlalu, dan musim semi dalam hidup kita menumbuhkan kembang-kembang harapan, aku pasti akan duduk di sebelahmu lagi. Aku akan bercerita tentang jalan panjang yang baru saja kulalui menuju rumah. Menuju pulang. Kembali ke hatimu.
Di depan hamparan sawah, kamu membisikkan sebuah janji. Bahwa kamu akan membagi impianmu ini bersamaku. Bahwa kita akan mengabarkan kepada dunia mengenai perempuan- perempuan pelukis ini. Mereka yang melukis dengan hati dari segenap penjuru negeri.
Tetapi ternyata masa depan memilih untuk melukiskan dirimu, bersamanya. Tertawa di atas impian kita berdua. Aku cukup membukanya satu halaman saja untuk melihat semua: feature yang kau tulis, gambar-gambar para perempuan pelukis dan puisimu yang tak pernah selesai tentang kita.
Sekarang, tidak ada lagi ‘kita’, bahkan untuk sekerat impian lama yang sejak mula kita bangun berdua. Ini impianmu. Hanya kamu. Dan ada dia di sampingmu, yang berbagi malam ini bersamamu.
Aku tidak tahu apakah aku harus merasa bahagia untukmu; atau merasa terluka untuk masa lalu. Pagi ini, ketika hujan menderas, aku mengenang lagi semua tentangmu. Perihal perpisahan yang absurd itu. Ihwal “kita” yang tak pernah final. Tentang cintaku kepadamu yang selalu kau gugat. Tentang hatimu yang selalu meragukan ketulusanku.
Kepingan-kepingan masa lalu bersamamu itu kuhadirkan kembali sebagai menu sarapan pagi, menemani secangkir kopi hitam yang kubuat. Kali ini tanpa cangkir pasangannya. Dan rasa sakit itu kembali, seperti gelombang hitam yang menggulungku dan hendak menyeretku tenggelam.
Bukankah cinta seharusnya membebaskan, dan bukan membebani? Ataukah utopia mengenai cinta yang membebaskan itu hanya ada dalam imajiku sendiri?
Seandainya kita tidak perlu menyembunyikan rasa yang kita punya, dan cukup berani untuk menamainya cinta, mungkin akan ada lebih banyak kenangan yang bisa kita simpan.
Always miss you Stella….

0 comments:
Posting Komentar