Tampilkan postingan dengan label Risalah Hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Risalah Hati. Tampilkan semua postingan

06 Juli 2013

Pudar

Ketika seseorang diam-diam menyimpan rasa, ada seseorang yang tengah berupaya menepiskannya. Ketika sekeping cinta dilepaskan ke udara, ada seseorang yang berlari untuk menangkap jatuhnya, sementara seorang lagi bersembunyi agar tak terkena serpihannya.  Setiap kali ada orang yang jatuh cinta, pada saat itu pula ada orang yang patah hati. 

Mungkin perpisahan kita menjelma dongeng terindah untukmu, tetapi merupa mimpi buruk untukku. Dan percayalah, tidak ada seorangpun yang hendak tertidur selamanya ketika tengah terperangkap dalam sebuah mimpi buruk. Sama halnya dengan aku.

Lama hidup ini dalam kenanganmu, aku menyadari sesuatu yang pelan-pelan naik ke permukaan. Betapa aku telah begitu terbiasa hidup tanpa kehadiranmu. Betapa aku telah baik-baik saja tanpa kamu disisiku.

Memang, aku masih sering memutar kenanganmu di masa lalu untuk melepaskan kerinduanku akan waktu-waktu yang tak sempat lagi kita habiskan berdua. Tetapi ternyata kenangan tentangmu sudah cukup untuk membantuku melewati hidup yang tak pernah menjadi lebih ramah.

Frekuensi pemutaran kenangan-kenanganmu pun semakin jarang. Tidak setiap rintik hujan mengingatkanku pada kita.

Dari balik kaca dari bingkai jendela, hanya terpantul wajahku. Tidak ada lagi kamu yang mendesak-desak disana dan membuatku hanyut dalam malam-malam yang sendirian.



Aku tak pernah terlalu banyak berfikir tentang kita. Buatku, kita adalah sebuah dunia di sisi lain cermin. Dunia dimana aku bisa jadi diriku sendiri. Kita berbagi mimpi yang tak bisa kita bagi pada orang lain. Kita berbagi sunyi tapi saling menemani. Mengapa pula segala sesuatu harus diberi nama? Bukankah pohon liar yang tumbuh rindang didalam hutan bisa tetap meneduhkan walau kita tak pernah tahu apa namanya?

Kesendirian atau kebersamaan tidak menggangguku. Tetapi kenyataan bahwa aku tak pernah tahu apakah sesungguhnya aku sendiri atau bersamamu adalah sebuah kutukan yang menghantui hari-hariku. Ketidaktahuan apakah aku adalah milikmu atau apakah kamu adalah milikku, menjadikan dunia buram dimataku. Aku terantuk, tersandung, terjatuh, tanpa pernah tahu dimana aku sesungguhnya berada: di relung atau palung hatimu?

Dan sekarang, menunggu setiap kabarmu itu rasanya lama sekali. Kabar yang tak pernah cukup mengkompensasi ketidakhadiranmu disini.

Apakah aku sudah mulai begitu terbiasa tanpamu?

Dan jika bahagia berarti melepasmu; jika itu berarti melewati hari-hariku tanpamu, tak mengapa. Karena yang kuinginkan saat ini adalah melindungi jiwaku, dan memastikan bahwa hatiku masih punya kapasitas yang cukup untuk mencinta.

Perasaan ini mulai tersasa ringan. Membebaskan.

Karena aku juga ingin cepat terbangun dari mimpi buruk ini dan tersenyum kembali pada matahari.

Look the light, Follow the light

Lelakiku

Continue reading Pudar

05 Juni 2013

Meranggas Malam

“Perempuan itu sebaiknya dicintai, bukan mencintai” 

Aku tidak pernah mempercayai perkataan itu.

Mungkin hubungan pernyataan itu adalah pengejawantahan nasihat padaku. Aku memilih untuk dicintai, bukan mencintai. “Mencintai lebih banyak melukai”. 

Perpisahan kita hanya untuk menemukan bahwa perpisahan itu melukai, jauh lebih dalam. Jika perpisahan melukai, mengapa kita tidak terluka saja berdua, dan bukan sendiri-sendiri.

Mengapa hanya aku yang mencoba meraihmu? Mengapa hanya aku yang menginginkan “kita”. Mengapa hanya ada aku, sendiri, disini?

Barangkali kita tidak seharusnya begini. Jika saja aku memulai, untuk mengatakan bahwa Aku Mencintaimu.


Apa yang seharusnya aku katakan bagaikan postcard masa lalu yang tak pernah terkirim ke alamat manapun. Dan aku hanya bisa menyimpannya dalam laci kenangan. Kenangan yang sudah usang, sehingga begitu rapuh untuk disentuh. Jika aku mencoba merabanya, semua hanya akan meluruh menjadi serpih-serpih yang tak akan lagi bisa kusulam utuh.

Aku sering bertanya kepada diriku sendiri, mengapa aku takut bahagia? Aku tidak takut bahagia, aku hanya takut kecewa.

Untuk sesaat aku merasakan kembalinya kepingan-kepingan waktu yang pernah kita lalui. Momen-momen bahagia yang terjadi begitu saja tanpa rencana. Karena buatku bahagia itu sederhana, “bersamamu”.


Aku seperti ombak yang hanya surut sebentar, kemudian berdebur kembali dengan kekuatan yang lebih besar untuk memecah tebing yang memagari kita. Hidup di masa lalu itu melelahkan. Tetapi hidup dimasa depan tanpamu akan jauh lebih menakutkan. Bahkan hanya untuk kubayangkan.

Tapi aku tak ingin menderita berkepanjangan. Tak mungkin menderita setiap malam menjadi pungguk yang merindukan rembulan.

Kemarin akan berganti hari ini, dan esok telah menanti. Terjepit diantara kamu dan dia sungguh bukan pilihan yang harus kuambil. Toh dinding masa depan harus ku bangun dari batu bata hari ini. Tapi kamana aku harus mengubah arah selain ke parasmu?

Seharusnya aku sudah terbiasa dengan semua ini. Dengan rasa sakit ini. Dengan rasa perih yang mendesak-desak di balik kelopak mataku ini. Kutengadahkan wajahku ke langit, kemudian kutekan-tekan kelopak mataku untuk mengusir rasa itu pergi. Tetapi rasa itu tak mau hilang dan tetap bertahan. Karena rasa itu tak pernah ada disana. Pedih itu bukan dimata; tetapi dihatiku. Sejenis ketiadaan akan kamu yang meremukkan segalanya. Menyesakkan.

Karena itulah aku bertahan meranggas selama dua puluh satu Sabtu malam….
Continue reading Meranggas Malam

11 Mei 2013

Kita

Setiap kali menengadah pada bintang-bintang di langit malam, aku selalu melihat kita di masa lalu. Kita adalah kelap-kelip itu. 

Rasanya sudah lama sekali sejak kita bertemu untuk yang pertama kali. Aku hampir lupa seberapa sering kita bicara obrolan ringan, atau diam saja memandangi hujan sampai bosan. Dan aku sungguh-sungguh lupa kapan terakhir kali kita tertawa bersama.

Aku tidak suka ini. Kenyataan bahwa aku mulai melupakan banyak hal tentang kita. Detail-detail kecil yang menurutku penting.

‘Mungkin kamu akan melupakan mereka yang pernah tertawa bersamamu, tetapi kamu tidak akan pernah bisa melupakan mereka yang pernah menemanimu saat jatuh”.

Ya, aku tidak melupakanmu. Belum. Meskipun aku ingin. Meskipun aku mau.
Karena alangkah lebih baiknya jika begitu. Aku tak perlu mengingat betapa kita memutuskan untuk menempuh jalan yang berbeda sama sekali. Sendiri-sendiri.
Meninggalkan apa yang pernah kita miliki tanpa pernah memutuskan apakah kita akan kembali, atau apakah kita akan bertemu lagi suatu saat nanti.

Sekarang, kita seperti dua orang asing yang tidak pernah saling kenal. Menapaki hidup masing-masing dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke depan, agar hati kita yang rapuh dan retak-retak ini luput dari pandangan. Kita memaksa diri untuk tidak menoleh kebelakang. Untuk mengubur semua yang pernah ada.


Tetapi kita tahu, bahwa apa yang kita campakkan itu, akan tetap ada selama kita ada bukan?
Kita pernah bersama. Tidak secepat itu kita bisa berpisah dari satu sama lain dan menjadi baik-baik saja.

Dan bukankah hingga detik ini, kita masih bertanya-tanya, apakah dulu yang kita campakkan itu cinta?

Malam ini, ketika aku menengadah memandangi bintang-bintang di langit malam, aku melihat kita di masa lalu. Kita adalah kelap-kelip itu.

Dimana kamu berada saat ini?
Apakah kamu juga tengah memandangi langit malam ini, langit yang biasa kita bagi bersama?
Katakan, apa yang kamu lihat ketika kamu memandangi bintang-bintang?

Apakah kamu masih melihat aku dan kamu di masa lalu?

Ataukah…. Kamu hanya melihat bintang-bintang?


Perempuanku
Continue reading Kita

28 April 2013

Deja Vu

Kecanduan akan waktu itu seperti penyakit, sementara rentang hidup semakin sempit. Lebih dari segalanya, waktu. Hanyalah waktu.   

Dan kita memang sudah sejak dulu. Kamu tahu, menikmati setiap jeda, setiap jenak, setiap lalu kala menunggu. Sebaris senyap dalam kata-kata yang tak tergugu. Tidak terburu. Tidak jemu-jemu, meski yang aku lakukan tidaklah lebih hebat dari sekedar menunggui sebatang rokok bertransformasi menjadi abu. Kita mungkin terikat dalam erat yang terlalu.

Begitukah menurutmu?

Bukan cinta. Atau kecupan lewat kala senja. Tapi waktu.


Semakin singkat. Ingatan fotografis semakin tak bisa diandalkan ketika jejak-jejak mulai berkarat. Dan kamu tahu, karat itu hama seperti binatang pengerat. Aku tidak lagi ingin kamu dalam satu kerat. Tidak cukup kuat. Imajimu tidak bisa menjelma nyata hanya dalam nyala lampu 25 watt. Dan waktu tersaruk-saruk di belakang kita dengan langkah-langkah berat.

Hanya waktu. Apakah aku meminta terlalu banyak?

Bisakah kita melahap bintang-bintang hanya dengan mata saja? Pada sebuah ketika dimana akhirnya langit kita berbagi warna serupa. Ketika jendela tak perlu menjelma perantara untuk mengantarkan bingkisan kata-kata. Kedipan bulu mata adalah nyata. Setiap geraknya. Setiap helainya. Tanpa sela. Tanpa cela.

Sempurna.

Ini tak akan bertahan selamanya.

Aku tahu.

Cuma sementara.

Aku tahu

Jika begitu, mengapa masih kau katakan sempurna?

Karena aku tidak minta selalu.
Aku Cuma minta secukupnya waktu.
Hanya waktu. Untuk mencintaimu…

Apakah waktu kita sudah habis?


Perempuanku
Continue reading Deja Vu

21 April 2013

Disinikah Kita..?

Selama kita tidak bercakap tentang “kita”, maka segalanya akan baik-baik saja. Benarkah begitu?

Aku kesepian. Di balik jendela kaca yang menyimpan waktu dari jaman yang entah. Menyakitkan untuk dipandang. Sakit yang familiar. Seperti juga sengatan dihatiku ketika berpisah.

Aku tidak menangis. Tidak berteriak. Karena bukankah kita memang tidak pernah bicara tentang cinta ketika memutuskan untuk bersama?
Bukankah seperti selalu, seperti selayaknya, kita hanya mengada?

Tanpa pernah mempertanyakan rasa macam apa yang selama ini kita genggam dalam jari-jemari kita yang bertaut?

Sehingga disinilah aku, setelah perpisahan itu. Di detik yang merapuh ini.
Sendiri.


Dulu, kita selalu membicarakan hari ini: obrolan gombal yang tak pernah orang lain fikirkan.

Bukan percakapan yang penting memang, tapi justru yang remeh temeh itulah yang membuat kita tertawa. Lunglai. Dan bertahan bersama. Bersama-sama melewati kelokan kehidupan dan sekujur jalan penuh luka.

Seharusnya kamu ada disini. Bersamaku.
Kita akan berbicara keras-keras dan terbahak pada hal-hal yang kelucuannya hanya bisa dimengerti kita berdua. Orang-orang akan menoleh kearah kita: sedikit kesal, sedikit iri. Berharap mereka bisa memiliki ketidakpedulian kita ini separuhnya saja. Seperti pasangan yang tengah kasmaran.

Seperti.

Dan kita selalu terhenti sampai sejauh ini. Sejauh kata “seperti”.
Karena kita tidak pernah tahu. Aku tidak pernah tahu. Karena selama kita tidak bercakap tentang “kita”, maka segalanya akan baik-baik saja.
Ini seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis, yang seharusnya tidak kita langgar. Dan semua mimpi buruk ini, kesendirian kita, perpisahan pagi itu adalah semacam kutukan yang jatuh diatasku.

Karena aku bertanya tentang kita.

Are we together?

Dan kamu membeku seperti mendengar sesuatu yang tabu, yang tidak seharusnya.
Mengapa?
Mengapa begitu?
Mengapa kita tidak bisa memberi nama terhadap rasa yang kita punya dan tetap baik-baik saja?

Hidupku telah terlalu terbiasa tertuju kepadamu. Ketika kamu tidak disini, aku kehilangan arah, aku tersesat.

Detik-detik berlalu seperti hujan. Sebentar tapi nyaman. Atau nyaman tapi cuma sebentar.
Nyaman itu yang selalu kurasakan ketika bersama dirimu.

I miss us, and all the things we’ve accidentally missed…

Perempuanku
Continue reading Disinikah Kita..?