26 Mei 2022

Sepotong Rembulan

Bersamamu adalah segalanya. Segenap keriangan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin kau tak pernah menyadari, berdua denganmu itu membuat perutku seperti dihuni oleh puluhan kupu-kupu yang menari-nari. Memandang wajahmu yang berkilau disiram cahaya lampu kendaraan bagaikan menatap telaga yang tenang.

Seperti malam itu, setelah senja rubuh ditelan gelap. Kita memandangi langit, cahaya rembulan yang hanya segaris, tanganmu dan jemariku saling bertautan, bergandengan bagaikan bintang dan rembulan dan yang berdekatan di jantung rimba malam, sesuatu yang tak pernah membuat kita bosan.

“Ceritakanlah kepadaku tentang cinta,” tiba-tiba kau meminta.

Cinta mungkin memang relasi yang tak mudah. Barangkali ia juga bukan sesuatu yang final.

“Proses?” kamu bertanya lagi.

“Mungkin. Aku tak pernah merasa pasti. Maukah kau kupeluk untuk menggambarkan apa itu cinta?”. Aku memelukmu. Kuusap-usap rambutmu yang hitam kelam.“Tapi, siapa yang bisa menebak perasaan esok, lusa, dan kelak?”

“Aku tak tahu. Siapa yang bisa menujum hati. Jalan begitu panjang dan tak lempang di depan … Eh, tapi bagaimana seandainya justru aku yang pergi?” kau ganti bertanya. “Akankah kau baik-baik saja?”

Hatiku tertambat padamu sejak dulu. Kamulah yang mewarnai musim semiku. Menghangatkan musim saljuku. Dan meneduhkan musim panasku. Di dalam taman hatiku, hanya ada satu kupu-kupu: kamu. Tak ada kupu-kupu lain. Bahkan yang masih berupa kepompong sekalipun di sana. “Tidak, aku tidak akan baik-baik saja”.

Angin selatan yang dingin menampar wajahku. Pedih. Sepedih ingatan tentang dirimu yang pada suatu masa selalu membuatku nyaman. Ke manakah gerangan kau sekarang berada, perempuanku? Adakah kau di tepi malam? Masihkah kau mengenang diriku? Apakah kamu melihat bintang dan sepotong rembulan yang sama dengan yang kutatap di sini?

 

 

0 comments:

Posting Komentar