02 Juli 2022

Paradoksal

Catatan hari ini kembali kumulai dari kenangan. Sebuah perjalanan yang dibayang-bayangi masa silam. Tentang dirimu: perempuanku, perempuan perajut malam
 

Apakah artinya bahagia buat kamu? Untukku? Kebahagiaan untukmu mungkin jauh berbeda bagiku.

 

Aku hanya lelaki sederhana yang merasakan bahagia justru ketika tak memiliki apa-apa. Aku pun baik-baik saja meski setiap hari mencoba bertahan dengan keudikanku di tengah deru kapitalisme dan hedonisme.

 

Aku tak pernah menyentuh gendul-gendul Chivas Regal, Jim Beam Black, Red Label, dan seterusnya itu. Sesekali memang aku mendatangi kedai malam dengan cangkir-cangkir kertas kuning isi teh panas yang mengepul itu.

 

Tapi toh akhirnya aku lebih sering setia pada gelas butut berisi seduhan teh dari dapur rumahmu. Dapur yang selalu memanaskan cintamu kepadaku.

 

Bagiku hidup adalah sesuatu yang tenang tapi pada dasarnya riang di dalam hati. Aku ingin seperti kembang mawar yang tidak mentereng, tapi segar. Rumput hijau yang tidak mahal, tapi bersih.

 

Mengapa kamu? Karena kukira dalam dirimu telah terbentuk sikap yang sejati, untuk tidak menganggap bahwa makna kata “berada” adalah berpunya. Ber-ada adalah hadir, hidup. Ber-punya hanyalah memperluas kemungkinan, suatu jalan, bukan tujuan.

 

“Aku dulu diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan naik surga. Kakek mengajariku untuk menahan keinginan, untuk mengetahui sampai di mana aku dapat mengatur kekuatan,” begitu kau pernah berkata padaku.

 

Terus terang aku terpana mendengar kata-katamu waktu itu. Kamu mengenalkanku pada sebuah cakrawala baru tentang iman dan keyakinan. Tentang kesederhanaan dan kebahagiaan.

Kesederhanaanmu bukan suatu pengertian yang menggugat, yang membingungkan, penuh hipokrisi. Kamu bahkan tak pernah dengan suara keras menghardik kemewahan yang kini bergelombang menghantam kita setiap hari.

 

Tapi mengapa pula mesti menghardik? Kamu orang yang sudah berbahagia. Kesederhanaan bagimu adalah suatu ketenteraman yang mengasyikkan.

 

Sebuah kebun mawar. Sebidang rumput hijau. Suatu berkah. Karena itu, aku iri kepadamu. Sangat. Aku selalu mengimpikan tertular virus bahagia darimu. Tapi itu dulu, sebelum kau memutuskan pergi.

 

Aku tak tahu apakah dengan kepergianmu itu kamu masih bahagia dan memiliki keriangan di dalam hati. Mungkin waktu itu untuk pertama kalinya kau tak bahagia. Entah, aku tak tahu.

Aku hanya yakin bahwa kehidupan tak akan berakhir dengan bahagia yang lengkap. Manusia tak akan pernah jadi tanpa cacat. Praktis sajalah. Kalaupun kita memiliki rencana, jangan terlalu muluk, kecewa bisa terlalu pahit.

 

Hidup adalah pilihan. Dan di antara pelbagai pilihan ke masa depan, kita telah memilih satu yang paling kurang brengsek. Mungkin kita akan tetap bahagia karena pilihan itu. Kalaupun pilihan itu salah, setidaknya aku pernah merasa bahagia karena sempat memilikimu. Meski hanya sementara. Sebentar saja….

 

Kelak, jika waktu mempertemukan aku dan dirimu kembali, aku akan bercerita tentang senja yang memerah saga. Tentang warna-warni pelangi dan bidadari yang menari di tepi lazuardi.

 

 

0 comments:

Posting Komentar