01 Desember 2022

Reminisensi

Dulu kita tak pernah alpa menatap bulan bersama ketika purnama dari balkon ini. Di setiap sudut kenangan. Dan kamu masih saja tak percaya bahwa purnama itu selalu berakhir untuk kemudian datang lagi sebulan kemudian. 

Aku cuma nyengir, membayangkan kita juga akan terus berdua sampai tua. Selamanya. Sebab, duduk pojok di sebuah balkon bersama dirimu yang cerewet, manja, nanya melulu, dan selalu cekikikan, mungkin bukan ide yang jelek. Kamu adalah gagasan yang selalu baru. Kamu seperti matahari pagi. Selalu menghangatkan embun yang bangun setelah dinihari.

  

Berdua, bersamamu, sepanjang waktu, tentu saja anugerah terindah hidupku. Seperti matahari bagi bumi. Hujan bagi musim panas yang lengas. Kau akan jadi gula bagi kopi pahitku. 

Hanya satu pintaku. Janganlah kau usik telepon-telepon yang berdering di saat-saat tertentu. Usahlah pula bertanya mengapa aku harus berbisik ketika menjawabnya. Itu panggilan dari dunia lain. Sebuah dunia di mana malam tak terasa malam, dan siang begitu menyilaukan. 

Bukan. Bukan itu yang terpenting dalam hidup ini. Kamu jauh lebih berharga dari apa pun. Dan layak diperjuangkan dengan cara apa pun. Kamu hanya harus lebih menahan diri. Masa depan toh menunggu sabar. 

Kelak, ketika musim gugur sudah berlalu, dan musim semi dalam hidup kita menumbuhkan kembang-kembang harapan, aku pasti akan duduk di sebelahmu lagi. Aku akan bercerita tentang jalan panjang yang baru saja kulalui menuju rumah. Menuju pulang. Kembali ke hatimu. Kita bertukar senyum, lalu menghabiskan sisa malam dalam diam. Diam yang menenangkan

0 comments:

Posting Komentar