13 Oktober 2022

Eigengrau

Dari manakah datangnya luka dan air mata? Aku tak tahu. Tapi dari hidup aku belajar merasakannya, dan lama-lama aku pun terbiasa menikmatinya. Dari sanalah aku tahu bahwa luka yang paling pedih adalah ketika kita tahu apa yang kita mau tapi tak dapat meraihnya.

Tahukah kamu, justru kamulah luka itu bagiku? Aku tahu aku menginginkanmu. Sangat. Tapi bertahun-tahun kemudian terbukti bahwa sungguh susah aku meraihmu. Mendapatkan dirimu. Kamu bayang-bayang yang selalu terbang setiap kali tanganku tinggal sejengkal lagi menggapainya. Kamu dekat, tapi tak tersentuh.

 

Kamu mungkin bahkan tak pernah paham bagaimana hatiku berdarah meski air mataku tak keluar setiap kali mengingatmu. Mengenangmu. Dengan mata setengah terpejam. Padahal tak banyak yang aku mau. Aku cuma ingin kamu menjadi puisiku setiap malam. Baris-baris sajak yang bisa kutulis hingga dinihari berganti pagi. Itu saja. Tidak lebih. Entah kenapa selalu ada ruang, jarak yang membuat kita sulit bertaut.

 

Dan rasa sakit itu kembali, seperti gelombang hitam yang menggulungku dan hendak menyeretku tenggelam. Mengapa kita selalu harus mempertimbangkan hal-hal seperti ini jika hendak meluangkan waktu bersama? Tidak bisakah kita berpegangan tangan dan membiarkan seluruh dunia melihatnya? Tidak bisakah aku memelukmu dari belakang tanpa perlu mencemaskan kata orang tentang kita?

 

Mungkin, sejarah kita akan mengubahku untuk selamanya. Mulai detik ini, aku tidak akan lagi percaya pada rasa serupa cinta yang harus dijalani secara sembunyi-sembunyi. Bukankah cinta seharusnya membebaskan, dan bukan membebani?

0 comments:

Posting Komentar