Aku memang tak menoleh waktu itu. Karena aku tahu mata hatiku selalu di belakang langkahmu. Mengikuti dengan takzim ke mana pun kau pergi.
Seandainya kamu lebih sabar dan melihat lebih jernih, mungkin kamu bakal tahu seberapa dalam luka jiwa yang kau sayat dengan prasangkamu. Luka hati dibawa mati. Luka jiwa, kubawa ke mana?
Dan seandainya saja kamu sudi tinggal lebih lama dan melihat dengan lebih tenang di ruangan itu, kamu akan tahu bawah gelas-gelas putih itu berdenting bukan untukku. Pelukan dan kecupan itu hanya hiasan semu. Senyum dan tawa itu bukan untuk kebahagiaanku. Semuanya adalah topeng. Tembok yang dibangun atas dasar kepentingan. Kepentingan siapa? Yang jelas bukan milikku.
Mata dan kata hatiku tersimpan rapat-rapat di lubuk sanubariku. Cuma kamu yang punya kunci untuk membuka dan menjenguknya. Tapi mungkin kamu telah membuangnya entah ke mana. Barangkali kamu memang tak sudi menengoknya barang sejenak.
Jika itu benar, aku mungkin akan menjadi orang paling sial di dunia ini. Seperti pungguk yang meminang rembulan ketika ternyata sang bulan telah menjatuhkan pilihan.
Tapi aku percaya pada dirimu. Kamulah orang yang selalu percaya bahwa cinta tak membuat kita saling terluka. Seperti yang pernah kamu bisikkan di telingaku ketika kita menanti gerimis reda di balkon itu. Bahwa selalu ada setitik harapan di ujung lorong yang gelap.
Begitulah kata para bijak yang kukutip dengan semena-mena waktu itu dan kusampaikan sebagai jawaban. Dan kurasa mereka benar. Siapa yang tahu apa yang akan dibawa oleh esok.
Kita?
Malam ini aku mencoba mengais kembali setiap kenangan tentang dirimu. Kucoba mencarinya lewat gelas-gelas putih yang dulu sering kita sesap berdua. Dan sayup-sayup ku dengar alunan “denting” nya melly goeslaw, siapapun yang memutar lagu itu, aku duga dia telah mengidap kesepian yang parah.