23 Desember 2022

Denting

Aku memang tak menoleh waktu itu. Karena aku tahu mata hatiku selalu di belakang langkahmu. Mengikuti dengan takzim ke mana pun kau pergi.

 Seandainya kamu lebih sabar dan melihat lebih jernih, mungkin kamu bakal tahu seberapa dalam luka jiwa yang kau sayat dengan prasangkamu. Luka hati dibawa mati. Luka jiwa, kubawa ke mana?

 

Dan seandainya saja kamu sudi tinggal lebih lama dan melihat dengan lebih tenang di ruangan itu, kamu akan tahu bawah gelas-gelas putih itu berdenting bukan untukku. Pelukan dan kecupan itu hanya hiasan semu. Senyum dan tawa itu bukan untuk kebahagiaanku. Semuanya adalah topeng. Tembok yang dibangun atas dasar kepentingan. Kepentingan siapa? Yang jelas bukan milikku.

 


Mata dan kata hatiku tersimpan rapat-rapat di lubuk sanubariku. Cuma kamu yang punya kunci untuk membuka dan menjenguknya. Tapi mungkin kamu telah membuangnya entah ke mana. Barangkali kamu memang tak sudi menengoknya barang sejenak.

 

Jika itu benar, aku mungkin akan menjadi orang paling sial di dunia ini. Seperti pungguk yang meminang rembulan ketika ternyata sang bulan telah menjatuhkan pilihan.

 

Tapi aku percaya pada dirimu. Kamulah orang yang selalu percaya bahwa cinta tak membuat kita saling terluka. Seperti yang pernah kamu bisikkan di telingaku ketika kita menanti gerimis reda di balkon itu. Bahwa selalu ada setitik harapan di ujung lorong yang gelap.

 

Begitulah kata para bijak yang kukutip dengan semena-mena waktu itu dan kusampaikan sebagai jawaban. Dan kurasa mereka benar. Siapa yang tahu apa yang akan dibawa oleh esok.

Kita?

 

Malam ini aku mencoba mengais kembali setiap kenangan tentang dirimu. Kucoba mencarinya lewat gelas-gelas putih yang dulu sering kita sesap berdua. Dan sayup-sayup ku dengar alunan “denting” nya melly goeslaw, siapapun yang memutar lagu itu, aku duga dia telah mengidap kesepian yang parah.

Continue reading Denting

01 Desember 2022

Reminisensi

Dulu kita tak pernah alpa menatap bulan bersama ketika purnama dari balkon ini. Di setiap sudut kenangan. Dan kamu masih saja tak percaya bahwa purnama itu selalu berakhir untuk kemudian datang lagi sebulan kemudian. 

Aku cuma nyengir, membayangkan kita juga akan terus berdua sampai tua. Selamanya. Sebab, duduk pojok di sebuah balkon bersama dirimu yang cerewet, manja, nanya melulu, dan selalu cekikikan, mungkin bukan ide yang jelek. Kamu adalah gagasan yang selalu baru. Kamu seperti matahari pagi. Selalu menghangatkan embun yang bangun setelah dinihari.

  

Berdua, bersamamu, sepanjang waktu, tentu saja anugerah terindah hidupku. Seperti matahari bagi bumi. Hujan bagi musim panas yang lengas. Kau akan jadi gula bagi kopi pahitku. 

Hanya satu pintaku. Janganlah kau usik telepon-telepon yang berdering di saat-saat tertentu. Usahlah pula bertanya mengapa aku harus berbisik ketika menjawabnya. Itu panggilan dari dunia lain. Sebuah dunia di mana malam tak terasa malam, dan siang begitu menyilaukan. 

Bukan. Bukan itu yang terpenting dalam hidup ini. Kamu jauh lebih berharga dari apa pun. Dan layak diperjuangkan dengan cara apa pun. Kamu hanya harus lebih menahan diri. Masa depan toh menunggu sabar. 

Kelak, ketika musim gugur sudah berlalu, dan musim semi dalam hidup kita menumbuhkan kembang-kembang harapan, aku pasti akan duduk di sebelahmu lagi. Aku akan bercerita tentang jalan panjang yang baru saja kulalui menuju rumah. Menuju pulang. Kembali ke hatimu. Kita bertukar senyum, lalu menghabiskan sisa malam dalam diam. Diam yang menenangkan

Continue reading Reminisensi

13 Oktober 2022

Eigengrau

Dari manakah datangnya luka dan air mata? Aku tak tahu. Tapi dari hidup aku belajar merasakannya, dan lama-lama aku pun terbiasa menikmatinya. Dari sanalah aku tahu bahwa luka yang paling pedih adalah ketika kita tahu apa yang kita mau tapi tak dapat meraihnya.

Tahukah kamu, justru kamulah luka itu bagiku? Aku tahu aku menginginkanmu. Sangat. Tapi bertahun-tahun kemudian terbukti bahwa sungguh susah aku meraihmu. Mendapatkan dirimu. Kamu bayang-bayang yang selalu terbang setiap kali tanganku tinggal sejengkal lagi menggapainya. Kamu dekat, tapi tak tersentuh.

 

Kamu mungkin bahkan tak pernah paham bagaimana hatiku berdarah meski air mataku tak keluar setiap kali mengingatmu. Mengenangmu. Dengan mata setengah terpejam. Padahal tak banyak yang aku mau. Aku cuma ingin kamu menjadi puisiku setiap malam. Baris-baris sajak yang bisa kutulis hingga dinihari berganti pagi. Itu saja. Tidak lebih. Entah kenapa selalu ada ruang, jarak yang membuat kita sulit bertaut.

 

Dan rasa sakit itu kembali, seperti gelombang hitam yang menggulungku dan hendak menyeretku tenggelam. Mengapa kita selalu harus mempertimbangkan hal-hal seperti ini jika hendak meluangkan waktu bersama? Tidak bisakah kita berpegangan tangan dan membiarkan seluruh dunia melihatnya? Tidak bisakah aku memelukmu dari belakang tanpa perlu mencemaskan kata orang tentang kita?

 

Mungkin, sejarah kita akan mengubahku untuk selamanya. Mulai detik ini, aku tidak akan lagi percaya pada rasa serupa cinta yang harus dijalani secara sembunyi-sembunyi. Bukankah cinta seharusnya membebaskan, dan bukan membebani?

Continue reading Eigengrau

15 September 2022

Bias

Ingatanku tentangmu selalu bercampur harapan akan sebuah masa depan yang tertata rapi. Sebuah kepastian. Sebuah nomor yang bisa kutelpon setiap kali kubutuhkan. Seseorang yang akan selalu ada bahkan tanpa diminta. Ingatanku tentangnya selalu bercampur harapan akan hari-hari penuh kejutan. Penantian yang membuncah menjadi kecupan tak henti-henti ketika mencapai akhir.


Sejenak aku seperti terpelanting ke masa silam. Berbelas musim berganti, berpuluh purnama lalu. Ketika aku memutuskan untuk mengejar matahari di timur, mengejar mimpi hingga ke tubir malam. Meninggalkan perempuan selaksa senyum. Bayangkan saja. Meninggalkan pesonamu ketika setiap malam aku justru meranggas menanti teleponmu? Mana mungkin aku menafikan kehadiranmu saat dirimu justru seluruh inspirasiku?


Tapi aku telah menjatuhkan pilihan, kupertaruhkan seluruh kartu terbaikku di atas meja ketika pada saat yang sama aku tahu bahwa perjudianku bukan untuk setiap lembar uang yang kumenangkan. Saat malam berselingkuh dengan pagi dan melahirkan siang selalu ada aku di ujung cakrawala.

 

Seandainya aku bisa memutar waktu, aku pasti tak hanya hidup bersamamu di masa lalu, tapi juga musim-musim yang hendak kita tuju.


Dulu cuma abadi di masa lalu. Terbuat dari batu cadas. Tak bisa diapa-apakan. Masa depan dapat kita bentuk dari sekarang.


Untuk apa kita hidup di masa lalu? Dunia toh terus bergegas lekas. Gerimis turun. Panas meranggas. Begitu seterusnya. Menuju masa depan. Tapi ini soal pilihan apakah kau tetap ingin hidup sendirian di masa lalu, atau mencoba peluang bersamaku di masa depan.
Masa depan menunggu dengan sabar. Seperti aku menantimu. Di sini. Berteman angin yang berdesir-desir. Usahlah kau takut. Jangan pernah merasa sendirian.


Aku toh akan selalu di dekatmu. Mewarnai hidupmu, setiap hari sepanjang waktu. Meski kita berjauhan. Seperti kau dulu juga setia di sebelahku, membacakan puisi pengantar tidur.


Marilah kita lupakan masa lalu yang biru dan membuat bibirmu kelu. Biarlah perih dan luka disembuhkan oleh waktu.


Waktu adalah teman yang baik. Membuat kita dewasa. Membuat kita lebih kuat. Dan kuat. Lupakan saja yang dahulu. Seperti kabut meninggalkan tanah, kupu-kupu melepas kepompong, dan pelangi meninggalkan hujan.


Musim semi sudah menunggumu. Hari-hari warni-warni ada di depanmu. Hidup tak pernah sama lagi buatmu. Untukku. Kita.

 

 

Continue reading Bias

06 Juli 2022

Perlambang

Bintang mungkin sebuah perlambang: bahwa yang sudah mati pun bisa terus bersinar dan terlihat indah dari kejauhan, bahkan setelah bertahun-tahun kemudian.

Aku mendapatkan kesan itu setelah nyaris setiap malam menggelandang bersama bintang-bintang – sekian purnama setelah kau pergi di pagi yang basah waktu itu. Oh ya, tentu saja aku masih mengingat dengan sempurna setiap detail adegan yang membuat hatiku seperti dirajam sembilu.

 


Dulu aku pernah bertanya, “Kenapa kita mesti berpisah?”

 

Dan kamu menjawab, “Kenapa tidak?”

 

“Kita” mungkin bukan gagasan yang bagus ketika aku dan dirimu sesungguhnya memang jalan yang bercabang. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kita adalah dua orang yang berbeda. Dengan kelebihan dan kekurangan, keinginan, harapan, keberanian, juga ketakutan masing-masing.

 

Dan ketika dua yang berbeda itu hendak dijadikan satu, yang terjadi bukan saling melengkapi, melainkan baku menyakiti. Ah, kamu pasti juga masih ingat ketika aku ingin ke utara, sedangkan kamu ingin ke selatan. Kamu mau pantai, aku berharap pegunungan.

Memang ada masa-masa ketika secangkir kopi panas terasa nikmat kita sesap berdua. Sewaktu kita hanya perlu satu payung sebagai pelindung dari tumpahan hujan yang begitu deras.

 

Tapi rupanya gagasan tentang “kita” mudah retak di tengah jalan. Dan aku seperti kupu-kupu dengan sayap yang patah ketika “kita” berubah menjadi belenggu.

 

Maka mengertilah kalau aku kemudian memilih jalan yang sulit

Aku lebih suka jalan yang paling jarang dilalui orang, demi membuat perbedaan. Tapi percayalah, kamu selalu menjadi bintang di hatiku.

 

Kamu tentu tahu bahwa bintang mungkin sebuah perlambang: bahwa yang mati pun masih terlihat indah dari kejauhan, bertahun kemudian.

 

 

Continue reading Perlambang

02 Juli 2022

Paradoksal

Catatan hari ini kembali kumulai dari kenangan. Sebuah perjalanan yang dibayang-bayangi masa silam. Tentang dirimu: perempuanku, perempuan perajut malam
 

Apakah artinya bahagia buat kamu? Untukku? Kebahagiaan untukmu mungkin jauh berbeda bagiku.

 

Aku hanya lelaki sederhana yang merasakan bahagia justru ketika tak memiliki apa-apa. Aku pun baik-baik saja meski setiap hari mencoba bertahan dengan keudikanku di tengah deru kapitalisme dan hedonisme.

 

Aku tak pernah menyentuh gendul-gendul Chivas Regal, Jim Beam Black, Red Label, dan seterusnya itu. Sesekali memang aku mendatangi kedai malam dengan cangkir-cangkir kertas kuning isi teh panas yang mengepul itu.

 

Tapi toh akhirnya aku lebih sering setia pada gelas butut berisi seduhan teh dari dapur rumahmu. Dapur yang selalu memanaskan cintamu kepadaku.

 

Bagiku hidup adalah sesuatu yang tenang tapi pada dasarnya riang di dalam hati. Aku ingin seperti kembang mawar yang tidak mentereng, tapi segar. Rumput hijau yang tidak mahal, tapi bersih.

 

Mengapa kamu? Karena kukira dalam dirimu telah terbentuk sikap yang sejati, untuk tidak menganggap bahwa makna kata “berada” adalah berpunya. Ber-ada adalah hadir, hidup. Ber-punya hanyalah memperluas kemungkinan, suatu jalan, bukan tujuan.

 

“Aku dulu diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan naik surga. Kakek mengajariku untuk menahan keinginan, untuk mengetahui sampai di mana aku dapat mengatur kekuatan,” begitu kau pernah berkata padaku.

 

Terus terang aku terpana mendengar kata-katamu waktu itu. Kamu mengenalkanku pada sebuah cakrawala baru tentang iman dan keyakinan. Tentang kesederhanaan dan kebahagiaan.

Kesederhanaanmu bukan suatu pengertian yang menggugat, yang membingungkan, penuh hipokrisi. Kamu bahkan tak pernah dengan suara keras menghardik kemewahan yang kini bergelombang menghantam kita setiap hari.

 

Tapi mengapa pula mesti menghardik? Kamu orang yang sudah berbahagia. Kesederhanaan bagimu adalah suatu ketenteraman yang mengasyikkan.

 

Sebuah kebun mawar. Sebidang rumput hijau. Suatu berkah. Karena itu, aku iri kepadamu. Sangat. Aku selalu mengimpikan tertular virus bahagia darimu. Tapi itu dulu, sebelum kau memutuskan pergi.

 

Aku tak tahu apakah dengan kepergianmu itu kamu masih bahagia dan memiliki keriangan di dalam hati. Mungkin waktu itu untuk pertama kalinya kau tak bahagia. Entah, aku tak tahu.

Aku hanya yakin bahwa kehidupan tak akan berakhir dengan bahagia yang lengkap. Manusia tak akan pernah jadi tanpa cacat. Praktis sajalah. Kalaupun kita memiliki rencana, jangan terlalu muluk, kecewa bisa terlalu pahit.

 

Hidup adalah pilihan. Dan di antara pelbagai pilihan ke masa depan, kita telah memilih satu yang paling kurang brengsek. Mungkin kita akan tetap bahagia karena pilihan itu. Kalaupun pilihan itu salah, setidaknya aku pernah merasa bahagia karena sempat memilikimu. Meski hanya sementara. Sebentar saja….

 

Kelak, jika waktu mempertemukan aku dan dirimu kembali, aku akan bercerita tentang senja yang memerah saga. Tentang warna-warni pelangi dan bidadari yang menari di tepi lazuardi.

 

 

Continue reading Paradoksal

26 Mei 2022

Sepotong Rembulan

Bersamamu adalah segalanya. Segenap keriangan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin kau tak pernah menyadari, berdua denganmu itu membuat perutku seperti dihuni oleh puluhan kupu-kupu yang menari-nari. Memandang wajahmu yang berkilau disiram cahaya lampu kendaraan bagaikan menatap telaga yang tenang.

Seperti malam itu, setelah senja rubuh ditelan gelap. Kita memandangi langit, cahaya rembulan yang hanya segaris, tanganmu dan jemariku saling bertautan, bergandengan bagaikan bintang dan rembulan dan yang berdekatan di jantung rimba malam, sesuatu yang tak pernah membuat kita bosan.

“Ceritakanlah kepadaku tentang cinta,” tiba-tiba kau meminta.

Cinta mungkin memang relasi yang tak mudah. Barangkali ia juga bukan sesuatu yang final.

“Proses?” kamu bertanya lagi.

“Mungkin. Aku tak pernah merasa pasti. Maukah kau kupeluk untuk menggambarkan apa itu cinta?”. Aku memelukmu. Kuusap-usap rambutmu yang hitam kelam.“Tapi, siapa yang bisa menebak perasaan esok, lusa, dan kelak?”

“Aku tak tahu. Siapa yang bisa menujum hati. Jalan begitu panjang dan tak lempang di depan … Eh, tapi bagaimana seandainya justru aku yang pergi?” kau ganti bertanya. “Akankah kau baik-baik saja?”

Hatiku tertambat padamu sejak dulu. Kamulah yang mewarnai musim semiku. Menghangatkan musim saljuku. Dan meneduhkan musim panasku. Di dalam taman hatiku, hanya ada satu kupu-kupu: kamu. Tak ada kupu-kupu lain. Bahkan yang masih berupa kepompong sekalipun di sana. “Tidak, aku tidak akan baik-baik saja”.

Angin selatan yang dingin menampar wajahku. Pedih. Sepedih ingatan tentang dirimu yang pada suatu masa selalu membuatku nyaman. Ke manakah gerangan kau sekarang berada, perempuanku? Adakah kau di tepi malam? Masihkah kau mengenang diriku? Apakah kamu melihat bintang dan sepotong rembulan yang sama dengan yang kutatap di sini?

 

 

Continue reading Sepotong Rembulan

09 Mei 2022

,

Rose and Midnight

 Dinihari. Dan aku belum juga memejamkan mata. Kenangan tentang dirimu membuat hatiku semak. Menjadikanku selalu terjaga. Seperti yang lalu-lalu.

 

Sempurna. Hujan, sepi, dan secangkir kopi sepertinya bersekongkol melemparkan diriku ke masa lalu. Pada waktu kita masih sering berdua di balkon itu. Malam-malam berdua saja. Dengan tawamu yang berderai-derai. Angin yang menerbangkan rambut hitammu yang panjang dan wangi ke mukaku, seperti tanganmu yang kerap membelai wajahku

 

Kopi tak pernah membuat kita bosan pada kehidupan yang menekuk pinggang ini. Kita bahkan selalu punya cara untuk menikmatinya, dengan riang maupun getir. Sesuatu yang mungkin remeh temeh bagi orang lain. Tapi, dengan dirimu di bangku depanku, yang remeh-temeh itu menjadi sesuatu yang membuat semuanya lebih hidup. Sesuatu yang menjadikan dirimu selalu berarti, dan lebih berarti.

 

Tubuhmu ibarat sebuah pentas. Tempat sebuah pertunjukan dipertontonkan. Kamu tarian. Sendratari. Drama. Puisi yang dibacakan oleh para penyair setiap malam.

 

Kita barangkali sebuah angan yang absurd. Tentang unifikasi sebuah relasi yang menggetarkan, sekaligus memedihkan.

 

 

Tapi ternyata aku kemudian mengerti bahwa kita adalah gagasan yang rumit. Antara ada dan tiada. Pernah ada masanya kau dan aku satu. Tapi tak menjadi kita. Kita mungkin seperti matahari dan hujan. Bisa melahirkan pelangi, tapi tak selalu di ranjang yang sama.

 

Takdir mungkin telah dinujumkan oleh jari-jarimu di hamparan jendela kaca yang berembun itu. Aku tahu pada saatnya nanti hati kita benar-benar remuk.

 

Mungkin jawabanmu itu juga sebuah pertanda. Bahwa kita tidak akan bertahan selamanya. Bahwa perpisahan itu tidak sejauh yang kita kira. Mungkin kita memang tidak membutuhkan selamanya. Sebentar yang bermakna itu bisa jauh lebih berharga. Setiap kenangan kita yang diabadikan lewat lensa mata. Dan kita bisa memutar ulang setiap adegan yang pernah kita lewati bersama hingga bosan.

 

Ah, kita memang tidak akan pernah tahu. Mungkin selamanya, mungkin sebentar, mungkin hanya hari ini saja. Tetapi bukankah, seperti sering kau katakan, selamanya tak selalu berakhir bahagia. Sebentar bisa menitipkan makna yang masih terasa bahkan setelah beberapa lama. Dan hari ini saja bisa menjelma kekal dalam ingatan yang selalu dapat kita putar ulang.

 

Ketika kau tahu sulitnya melupakan sebuah kesalahan meskipun kata maaf telah diucapkan, janganlah meninggalkan ingatan pedih pada kenangan.

 

Tetapi, apa boleh buat. Satu episode dalam hidup kita sudah lewat. Terangkum dalam satu masa yang terasa seperti hanya sekejap mata. Maka, yang bisa kulakukan hanyalah mengucapkan satu harapan untukmu.

 

Melangkahlah pada sinar mentari esok pagi dengan hati yang utuh dan bukan cuma separuh. Maafkan aku atas semua luka yang telah membuatmu menangis di malam hari. 

 

💗 Mungkin ada banyak bunga dalam hidup seseorang… tapi hanya satu mawar.

Rose are Red, Midnight are Blue

Continue reading Rose and Midnight

26 April 2022

, , ,

Download Garmin Mapsource, Garmin Basecamp dan USB Driver Garmin (Via Google Drive)

 Mapsource adalah software yang dapat dihubungkan dengan GPS. Pada mapsource yang bisa dimanage adalah GPS Garmin. Mapsource menyediakan data geografis pada software yang nantinya akan ditampilkan pada PC atau menambahkan base map dari GPS Garmin. Dengam mapsource kita bisa melihat waypoints, route dan track pada peta grafis dengan mengupload informasi dari GPS garmin atau membuat secara cepat new waypoint atau route degan mengklik mouse dan mendownloadnya pada GPS Garmin.


 

DownloadGarmin Base camp

DowloadGarmin Mapsource

DownloadUSB Driver Garmin

 

Jika setelah di instal tapi unit Garmin tidak connect atau tersambung ke PC atau Laptop silahkan  cek permasalahnnya disini

Continue reading Download Garmin Mapsource, Garmin Basecamp dan USB Driver Garmin (Via Google Drive)